Waah.. lama sekali aku tidak menulis. Satu
bulan lebih hehe.. padahal banyak waktu. Saaangat banyak. Materi juga terus
menumpuk, tapi enggan sekali bekerja di rumah. Dasar aku. Baiklah.. hari ini (17/6)
aku menghabiskan sebagian waktu di Tunjungan Plaza. Sendiri. Banyak sekali
agenda: nonton, makan, belanja, jalan-jalan, dan tidak ketinggalan: nongkrong!
(Ini part yang paling ditungggu 😊) Btw, konten ini bisa jadi
mengandung spoiler, karena akan menjabarkan secara detail (sesuai kebutuhan).
Jika belum nonton dan enggan mendapat spoiler, bisa dilewati saja, hehe..
Tadi aku menonton film Single Part 2. Seri
terakhir (kata Radit) dari Single. Aku tidan menonton seri pertama, jadi tidak
bisa membandingkan. Alasan aku mendadak ingin menonton film ini adalah karena Radit
bilang, di film ini akan dijabarkan: apakah bahagia harus bersama pasangan? Aku
lupa mendengar dimana, seingatku di video ini.
Usiaku mungkin masih dua per tiga usia Ebi
(karakter Raditya Dika di Single Part 2), tapi tekanan mengenai pasangan dan
menikah sudah mulai datang. Malah dari keluarga sisi perempuan a.k.a ibu dan
kakak ipar. Yang aku heran adalah, mereka sejauh ini hanya mengutarakan opini,
tapi tidak dibarengi dengan alasan. Maksudku, daripada bilang, “segera pikirkan
mengenai pasangan”, bukankah dijelaskan terlebih dahulu “apa itu menikah”?
Karena itu yang lebih kubutuhkan.
![]() |
source: google |
Kembali ke film. Sebagai laki-laki menjelang
usia 30 tahun, Ebi mulai cemas mengenai kehidupan asmaranya. Dia belum pernah
berpacaran, dilangkahi menikah oleh adiknya, dan sangat suka dengan Angel,
teman di kos lamanya, tapi tidak berani menyatakan perasaan. Ebi masih di
Jakarta, Angel ko-as di Bali. Hampir setiap hari mereka chat, telepon, hingga
video call, tapi setiap kali Ebi ingin mengungkapkan perasaan, selalu gagal
karena gugup. Sampai Angel mengaku ditembak Arya, rekan relawan di Panti di
Bali. Ebi mengalah, mundur, dan tanpa sengaja dekat dengan Alika, putri pemilik
laundry langganan Ebi. Alur ini sedikit menarik. Karena jika dilogika,
kedekatan Ebi-Angel ini tidak bertepuk sebelah tangan. Terlihat dari beberapa
upaya Angel yang mengarahkan Ebi untuk mengakui perasaannya. Tapi dasar Ebi
tidak peka, dan Angel memilih patuh dengan ibunya yang senang dengan Arya, jadi
hubungan mereka tidak bersatu. Sekalinya hampir bersatu, terjadi kesalahpahaman
antara ibu Angel dan Ebi, membuat Ebi memutuskan benar-benar menyerah. Dan di
sini terjadi plot twist ending hehe..
Jawaban mengenai “jaminan bahagia” kemudian,
menurutku, mengambang. Hanya bisa diterka. Hanya saja, Ebi kemudian menyadari
bahwa hidup tidak hanya soal pasangan, tapi juga sahabat dan keluarga. Dia juga
menekankan, bahwa hidup itu kejutan. Ebi jalan dengan Alika, Angel bubaran
dengan Arya, Angel menghubungi Ebi. Entah bagaimana kelanjutan kisah mereka,
tidak ada yang bisa menebak, pun juga tidak ada yang bisa menjamin. Hanya bisa
dilanjutkan dan dijalani.
Ada beberapa pelajaran mengenai perbandingan single-married
di lingkungan Ebi. Alfa, adik Ebi, menikah setelah 3 bulan mengenal Jasmine.
Padahal rencananya, Jasmine baru ingin menikah di usia 28 tahun, setelah
karirnya bagus (yang berarti cukup lama sejak mereka saling kenal). Tapi semakin
dijalani, mereka semakin mantap, hingga memutuskan menikah dan akhirnya
memiliki anak. Sementara Johan, sahabat Ebi, juga sudah menikah, dan istrinya
membantunya mengurus online shop. Beberapa adegan menampilkan Widya, istri
Johan, kerap menghubungi Johan, sekedar bertanya sedang dimana. Hal ini
kemudian menjadi bahasan Nardi, bahwa berpasangan membuat tidak bebas, selalu
dicari kemana-mana (posesif).
Namun menjadi single tidak lantas lebih baik.
Di akhir, Nardi mengakui, bahwa selama single, dia menjadi tidak jujur dengan
dirinya sendiri, membohongi publik dan dirinya bahwa dia single karena ingin
bebas, bukannya belum menemukan pilihan.
Jika poin-poin dalam film ditarik ke fenomena
lingkungan, banyak hal yang cukup masuk akal. Selama mudik kemarin, aku bisa
menyaksikan, bahwa di desa, banyak pasangan yang bisa menerima satu sama lain
dengan baik. Tanpa harus memandang materi berlimpah, fisik sempurna, atau hanya
sebatas nafsu. Namun di media sosial, entah berapa banyak tweet viral mengenai
kriteria kemapanan pasangan (dengan gaji puluhan juta, misalnya), persiapan
pendidikan anak, atau pasangan yang “jajan di luar”.
“Saat menikah, lu bakal melihat orang yang sama
dari bangun tidur sampai tidur lagi.”
Kalimat Nardi untuk Ebi, menanggapi Johan, ini
memang benar. Menikah tidak hanya “halal”, tapi juga komitmen hidup. Apakah
bisa bertahan di berbagai kondisi (keuangan, perubahan fisik pasangan), dan bagaimana
mengelola emosi, mental, sampai rasa bosan. Bukan hal sepele. Belum lagi jika
dikaitkan dengan lingkungan tempat tinggal, apakah lingkungan itu sehat, apakah
politik dan kondisi negeri nyaman, hingga keramahan lingkungan (polusi, sampah)
di masa depan. Banyak hal yang menjadi pikiran. Dan entah kapan jawabannya akan
datang. Hal ini yang kemudian menyebabkan generasi masa kini, yang ngebet
menikah semakin ngebet (dengan berbagai akun hijrah tentang menghindari zina
dan permintaan keluarga), dan yang menghindar semakin menghindar (terus
berpikir mengenai kemapanan, kondisi sosial-lingkungan-politik, atau karena hal
pribadi).
Dan aku? Semakin bingung harus bagaimana. Di satu
sisi, aku belajar bahwa rezeki akan datang di kemudian hari. Namun pribadiku
juga menyadari, dalam hubungan saja, aku kerap merasa bosan dan “lari”. Bagaimana
saat menikah nanti?