Langsung ke konten utama

Aku dan Kamu (part 1)

Dalam beberapa postingan ke depan, aku bakalan nulis serial "Aku dan Kamu". Kisah ini berasal dari pengalaman nyataku selama masa putih abu-abu-yang sampai saat ini masih berjalan-. Ada beberapa bagian yang namanya nggak sesuai-atau malah tanpa nama-, untuk sekedar menghilangkan prasangka negatif. Entah bakalan jadi berapa part, yang jelas, baca dan tunggu aja kelanjutannya. Hope you like it :)

***

               Sinar mentari masih terasa hangat, saat aku mengingat kali pertama saat aku memasuki sekolah baruku. Aku menyebut sekolah baru karena ini sekolah pertamaku sejak aku lulus SMP. Sekolah baruku ini berbeda dari sekolah-sekolah lain yang satu yayasan. Katakanlah, sekolahku ini “anak emas”. Ya, seperti itulah. Karena sekolahku ini dikenal sebagai sekolah harapan yayasan untuk mengharumkan nama yayasan di bidang keagamaan. Oke, bukan sekolah, tapi madrasah. MA Unggulan Darul Falah. Tapi boleh, kan, aku tetap menyebutnya sekolah? Kedengarannya lebih enak. :)
                Bersama teman-temanku sejak SMP, kami bertekad akan membuat masa-masa putih abu-abu kami lebih berkesan. Lebih berwarna. Salah satunya dengan aktif mengikuti organisasi dan berbagai kegiatan di sekolah. Begitu pula denganku. Sedari SMP, aku sangat ingin bergabung di klub jurnalis. Mungkin karena aku ingin jadi penulis kali, ya? Memang, sih, kemampuan menulisku masih jauh dari kata sempurna, tapi setidaknya aku ingin belajar. Dan sepertinya, sekolahku ini cukup menunjang untuk mempelajari ilmu jurnalistik. Karena itu, begitu sampai di sekolah dan mendengar mulai diadakan berbagai macam seleksi masuk untuk berbagai organisasi, aku menyambut dengan sangat antusias. Mulai klub majalah, klub bahasa, sampai yang paling tenar, OSIS. Berbagai seleksi aku ikuti dengan runtut di hari-hari yang berbeda.
                Di klub bahasa, aku sempat lolos hingga tahap wawancara. Dan secara kebetulan, yang mewawancara adalah Sang Ketua klub. Aku terlalu gugup sampai sedikit kesulitan menjawab pertanyaan yang dia ajukan. Apalagi pertanyaannya menggunakan bahasa Arab. Karena di klub ini, para anggotanya akan menjadi “guru” bagi siswa-siswi di sekolah, khususnya yang kelas X. Karena itu, pengetahuan luas tentang kebahasaan sangat dibutuhkan. Tentu saja disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota. Aku mendaftar di bagian bahasa Arab karena aku lebih menyukainya daripada bahasa Inggris. Lagipula, aku menganggap bahwa kemampuan masih bisa diperbaiki nanti, karena itu aku pede mendaftarkan diri.
            Sayangnya, tahun ini aku rupanya harus mengalah di klub bahasa. Ya, namaku tidak tercantum saat pengumuman ditempel di mading. Sungguh, aku sangat kecewa saat itu. Namun hanya sesaat, karena selang beberapa hari kemudian, pengumuman lain yang menyatakan bahwa aku lolos seleksi masuk klub majalah terpasang. Kali ini aku menyambut dengan suka cita. Karena sejak SMP, aku sudah terobsesi untuk bisa mengembangkan kemampuan menulisku yang bermula dari buku harian.
                Di klub majalah ini, aku berkenalan dengan berbagai orang yang unik, menurutku. Mereka sangat membaur dengan kami yang masih junior. Semangat mereka untuk menunjukkan bahwa klub jurnalis itu bisa mengharumkan nama sekolah sangat membara. Dan, ini yang aku suka, di sini mereka sama sekali tidak membedakan masing-masing diantara kami. Semuanya sama. Semuanya bekerja. Tidak ada yang menganggur. Bahkan Sang Ketua pun terlihat sangat berusaha demi menyajikan majalah sekolah dengan sempurna tanpa ada kesalahan sedikitpun. Di sini, aku merasa cocok. Sangat cocok. Aku semakin mencintai jurnalis.
               Selain di klub majalah, aku juga diterima sebagai anggota OSIS sekbid Jurnalis. Bahkan aku dijadikan bendahara sekbid oleh sang koordinator. Tentu saja hal ini membuatku sangat senang. Baru kali ini aku mengikuti organisasi, tapi langsung merasa nyaman dan dihargai. Karena kepercayaan itu sangat penting. Jika kita sudah diberi kepercayaan dan kita bisa menjalankannya dengan amanah, kita akan dengan mudah mendapatkan kepercayaan-kepercayaan yang berikutnya. Dan menjalankan kepercayaan hanya akan terlaksana jika kita mengerjakan sesuatu dengan hati, bukan hanya sekedar kemampuan. Seperti yang terkutip dalam salah satu trilogi oleh A. Fuadi, Rantau 1 Muara, saat Alif mengikuti seleksi untuk bisa menjadi wartawan di Derap, bahwa, “Kemampuan masih bisa dipelajari, namun karakter sudah tertanam sejak kecil.” Sama halnya dengan hati.
                Singkatnya, aku bahagia bisa mewujudkan impianku untuk lebih berkecimpung di dunia jurnalis, baik di klub majalah ataupun di OSIS. Walupun konsentrasi di OSIS lebih kepada penggarapan mading sekolah, aku merasa itu sudah lebih dari cukup. Setidaknya, untuk pemanasan. :)



*Sementara ini dulu, nantikan kelanjutannya di Aku dan Kamu part 2 (coming soon) :)