Postingan kali ini lebih panjang. Karena terlalu banyak
kejadian yang terjadi, dan nggak mungkin dipisahkan. Enjoy, guys...
***
Semenjak
aku gagal masuk klub bahasa, semangatku untuk mempelajari bahasa lebih dalam
semakin terlecut. Setiap kali kelasku mendapatkan pelajaran bahasa dari klub,
aku terus menyimak dengan seksama. Tapi mungkin karena masih sedikit kecewa atas
penolakan sebelumnya, aku menjadi sedikit kritis. Setiap kali anggota klub
bahasa keliru dalam mengajarkan sesuatu, aku merasa bahwa mereka tidak ada
apa-apanya. Oke, ini terkesan sombong, tapi seperti itulah yang kurasakan. Seolah
dendam, aku terus memojokkan mereka setiap kali aku menemukan kesalahan. Tak
peduli meskipun yang melakukan Sang Ketua. Sekali salah, tetap saja salah.
Meskipun tak jarang juga aku mendapati mukaku memerah setiap kali aku memprotes
kesalahan mereka. Terutama jika langsung pada ketua. Namun hal itu justru
semakin menambah kebencian tak beralasanku terhadap klub bahasa. Ya, aku
membenci klub bahasa, tidak terkecuali ketuanya. Entah bermula sejak kapan,
yang aku tau, aku benci klub bahasa, titik.
Namun
entah mengapa, kebencianku itu justru semakin mendekatkanku dengan mereka.
Contoh saja saat evaluasi semester yang diadakan klub bahasa. Padahal aku sama
sekali lupa bahwa hari itu ada evaluasi–sehingga aku tidak mempersiapkan diri—. Dan aku mengerjakan soal dengan asal-asalan, tapi justru aku yang maju ke babak
final, bersama sepuluh orang teman seangkatanku. Dan aku sama sekali tidak
menyangka akan menjuarainya. Evaluasi itu menjadi prestasi pertamaku sejak
menginjakkan kaki di MAU ini. Dan aku sangat bahagia. Tak peduli prestasi itu
berasal dari klub bahasa yang sangat aku benci.
Tak
lama sejak evaluasi itu, yayasan mengadakan lomba mading antar sekolah satu
yayasan. Tentu saja dalam hal ini, klub majalah dan OSIS-MPK sekbid jurnalistik
yang bekerja. Walaupun aku sama sekali tidak tahu-menahu mengenai konsep mading
itu nantinya—mading 3D—, tapi aku tetap berusaha belajar dan ingin
mempersembahkan yang terbaik untuk sekolah. Setiap pulang sekolah, kami
berkumpul di laboratorium yang jarang dipakai dan mengerjakan mading itu.
Mungkin karena kami orang-orang jurnal, jadi kami sama sekali tidak bisa
terlalu serius. Selalu saja ada selingan canda tawa di tengah keseriusan
penggarapan mading. Dan laboratorium itu hampir tidak pernah sepi. Selalu full
music. Tapi walau terkesan tidak terlalu serius, nyatanya hasilnya tetap
saja memuaskan. Walau akhirnya mendapatkan juara harapan, tapi kami sebenarnya
berpeluang untuk menang. Karena nilai asalnya sempat dikurangi karena ada
pelanggaran—peserta melewati batas pemisah—. Maklum saja, saat itu metahari
bersinar sangat terik, dan bagian sekolah kami berada di bagian yang paling
panas. Terang saja ada yang tidak kuat menahan panas dan akhirnya melanggar
batas. Terlepas dari itu, aku sangat bangga dengan sekolahku, dan semakin
bangga lagi dengan klub jurnalis. Bahkan aku semakin bersemangat untuk lebih
mendalaminya.
Hanya
satu bulan sebelum ujian kenaikan kelas dilaksanakan, klub bahasa kembali
mengadakan evaluasi untuk yang kali kedua. Kali ini tipe soalnya lebih sulit.
Dan kembali aku hanya setengah hati mengerjakannya. Namun lagi-lagi takdir
mengharuskanku “bertarung” lagi. Bahkan walaupun nilaiku termasuk yang paling
jelek diantara yang lainnya, aku tetap maju ke babak final. Dan kali ini,
finalnya tidak lagi di depan umum, melainkan menyendiri di laboratorium bahasa.
Baru melihat soalnya saja, aku sudah yakin yang membuat adalah ketua. Cukup
sulit dan sangat menekankan pada kemampuan bahasa Arab. Wajar saja, karena ketua sendiri
sudah sangat fasih berbahasa Arab. Bisa dibayangkan bagaimana pusingnya otakku
saat menjawab soal-soal itu? Dan benar saja, saat diumumkan pemenangnya, aku
lengser dari posisi pertama. Dan sangat mengejutkan karena aku menempati posisi
kedua, mengingat aku sangat kesulitan mengatasi babak final kemarin. Huft..
sepertinya aku memang ditakdirkan untuk dekat dengan klub bahasa. -_-
Saat-saat
setelah ujian kenaikan adalah saat yang paling ditunggu. Apalagi kalau bukan class
meeting? Jujur, aku baru kali ini mengikuti class meeting sungguhan.
Karena saat di SMP dulu, tidak pernah ada perlombaan antar kelas seperti ini. Karena
itu, di class meeting ini aku sangat antusias. Apalagi karena
perlombaannya mencakup segala bidang. Termasuk diantaranya bahasa. Yeah, ada
satu lomba bahasa, yaitu translate. Dan tentu saja aku yang mengajukan
diri. Setidaknya, ini lebih baik daripada lomba masak, olahraga, atau yang
lainnya, kan?
Dan
kembali takdir mempertemukanku dengan ketua klub bahasa. Rupanya dia menjadi
pengawas di lomba translate ini bersama koordinator OSIS sekbid bahasa.
Lomba translate ini—sesuai judulnya—, menerjemahkan cerita berbahasa Arab dan
bahasa Inggris. Waktu yang tersedia satu jam. Namun hanya dalam waktu kurang
dari satu jam, aku sudah bisa menyelesaikannya. Dengan perasaan malas, aku
mengumpulkannya pada salah satu pengawas. Aku sudah tidak peduli pada hasil
akhirnya. Aku pasrah.
Namun
takdir berbalik arah. Aku justru meraih posisi pertama dalam lomba translate
ini. Tak habis pikir, apa sih yang membuatku begitu mudahnya mendapatkan
prestasi di bidang bahasa? Apa karena kebencianku yang mendalam pada klub
bahasa? Atau emang dari garis ibu yang dulu pintar di bidang bahasa? Ah, sudahlah.
Toh meskipun udah dapet kemenangan di bidang bahasa, kebencianku terhadap klub bahasa masih belum juga luntur. Malah, menurutku, semakin dalam. Aku semakin benci melihat
wajah ketua klub bahasa.
Tapi, benarkah aku selamanya akan
membenci klub bahasa, termasuk Sang Ketua? Nantikan kisah selanjutnya di Aku
dan Kamu part 3 (coming soon) J