Langsung ke konten utama

Aku dan Kamu (part 2)

Postingan kali ini lebih panjang. Karena terlalu banyak kejadian yang terjadi, dan nggak mungkin dipisahkan. Enjoy, guys...

***

                Semenjak aku gagal masuk klub bahasa, semangatku untuk mempelajari bahasa lebih dalam semakin terlecut. Setiap kali kelasku mendapatkan pelajaran bahasa dari klub, aku terus menyimak dengan seksama. Tapi mungkin karena masih sedikit kecewa atas penolakan sebelumnya, aku menjadi sedikit kritis. Setiap kali anggota klub bahasa keliru dalam mengajarkan sesuatu, aku merasa bahwa mereka tidak ada apa-apanya. Oke, ini terkesan sombong, tapi seperti itulah yang kurasakan. Seolah dendam, aku terus memojokkan mereka setiap kali aku menemukan kesalahan. Tak peduli meskipun yang melakukan Sang Ketua. Sekali salah, tetap saja salah. Meskipun tak jarang juga aku mendapati mukaku memerah setiap kali aku memprotes kesalahan mereka. Terutama jika langsung pada ketua. Namun hal itu justru semakin menambah kebencian tak beralasanku terhadap klub bahasa. Ya, aku membenci klub bahasa, tidak terkecuali ketuanya. Entah bermula sejak kapan, yang aku tau, aku benci klub bahasa, titik.
                Namun entah mengapa, kebencianku itu justru semakin mendekatkanku dengan mereka. Contoh saja saat evaluasi semester yang diadakan klub bahasa. Padahal aku sama sekali lupa bahwa hari itu ada evaluasi–sehingga aku tidak mempersiapkan diri—. Dan aku mengerjakan soal dengan asal-asalan, tapi justru aku yang maju ke babak final, bersama sepuluh orang teman seangkatanku. Dan aku sama sekali tidak menyangka akan menjuarainya. Evaluasi itu menjadi prestasi pertamaku sejak menginjakkan kaki di MAU ini. Dan aku sangat bahagia. Tak peduli prestasi itu berasal dari klub bahasa yang sangat aku benci.
                Tak lama sejak evaluasi itu, yayasan mengadakan lomba mading antar sekolah satu yayasan. Tentu saja dalam hal ini, klub majalah dan OSIS-MPK sekbid jurnalistik yang bekerja. Walaupun aku sama sekali tidak tahu-menahu mengenai konsep mading itu nantinya—mading 3D—, tapi aku tetap berusaha belajar dan ingin mempersembahkan yang terbaik untuk sekolah. Setiap pulang sekolah, kami berkumpul di laboratorium yang jarang dipakai dan mengerjakan mading itu. Mungkin karena kami orang-orang jurnal, jadi kami sama sekali tidak bisa terlalu serius. Selalu saja ada selingan canda tawa di tengah keseriusan penggarapan mading. Dan laboratorium itu hampir tidak pernah sepi. Selalu full music. Tapi walau terkesan tidak terlalu serius, nyatanya hasilnya tetap saja memuaskan. Walau akhirnya mendapatkan juara harapan, tapi kami sebenarnya berpeluang untuk menang. Karena nilai asalnya sempat dikurangi karena ada pelanggaran—peserta melewati batas pemisah—. Maklum saja, saat itu metahari bersinar sangat terik, dan bagian sekolah kami berada di bagian yang paling panas. Terang saja ada yang tidak kuat menahan panas dan akhirnya melanggar batas. Terlepas dari itu, aku sangat bangga dengan sekolahku, dan semakin bangga lagi dengan klub jurnalis. Bahkan aku semakin bersemangat untuk lebih mendalaminya.
                Hanya satu bulan sebelum ujian kenaikan kelas dilaksanakan, klub bahasa kembali mengadakan evaluasi untuk yang kali kedua. Kali ini tipe soalnya lebih sulit. Dan kembali aku hanya setengah hati mengerjakannya. Namun lagi-lagi takdir mengharuskanku “bertarung” lagi. Bahkan walaupun nilaiku termasuk yang paling jelek diantara yang lainnya, aku tetap maju ke babak final. Dan kali ini, finalnya tidak lagi di depan umum, melainkan menyendiri di laboratorium bahasa. Baru melihat soalnya saja, aku sudah yakin yang membuat adalah ketua. Cukup sulit dan sangat menekankan pada kemampuan bahasa Arab. Wajar saja, karena ketua sendiri sudah sangat fasih berbahasa Arab. Bisa dibayangkan bagaimana pusingnya otakku saat menjawab soal-soal itu? Dan benar saja, saat diumumkan pemenangnya, aku lengser dari posisi pertama. Dan sangat mengejutkan karena aku menempati posisi kedua, mengingat aku sangat kesulitan mengatasi babak final kemarin. Huft.. sepertinya aku memang ditakdirkan untuk dekat dengan klub bahasa. -_-
                Saat-saat setelah ujian kenaikan adalah saat yang paling ditunggu. Apalagi kalau bukan class meeting? Jujur, aku baru kali ini mengikuti class meeting sungguhan. Karena saat di SMP dulu, tidak pernah ada perlombaan antar kelas seperti ini. Karena itu, di class meeting ini aku sangat antusias. Apalagi karena perlombaannya mencakup segala bidang. Termasuk diantaranya bahasa. Yeah, ada satu lomba bahasa, yaitu translate. Dan tentu saja aku yang mengajukan diri. Setidaknya, ini lebih baik daripada lomba masak, olahraga, atau yang lainnya, kan?
                Dan kembali takdir mempertemukanku dengan ketua klub bahasa. Rupanya dia menjadi pengawas di lomba translate ini bersama koordinator OSIS sekbid bahasa. Lomba translate ini—sesuai judulnya—, menerjemahkan cerita berbahasa Arab dan bahasa Inggris. Waktu yang tersedia satu jam. Namun hanya dalam waktu kurang dari satu jam, aku sudah bisa menyelesaikannya. Dengan perasaan malas, aku mengumpulkannya pada salah satu pengawas. Aku sudah tidak peduli pada hasil akhirnya. Aku pasrah.
                Namun takdir berbalik arah. Aku justru meraih posisi pertama dalam lomba translate ini. Tak habis pikir, apa sih yang membuatku begitu mudahnya mendapatkan prestasi di bidang bahasa? Apa karena kebencianku yang mendalam pada klub bahasa? Atau emang dari garis ibu yang dulu pintar di bidang bahasa? Ah, sudahlah. Toh meskipun udah dapet kemenangan di bidang bahasa, kebencianku terhadap klub bahasa masih belum juga luntur. Malah, menurutku, semakin dalam. Aku semakin benci melihat wajah ketua klub bahasa.



Tapi, benarkah aku selamanya akan membenci klub bahasa, termasuk Sang Ketua? Nantikan kisah selanjutnya di Aku dan Kamu part 3 (coming soon) J