Langsung ke konten utama

Aku dan Kamu (part 3)

Here's the next part. Enjoy.. :)

***

Nggak kerasa, setahun berlalu sejak aku masuk SMA MA. Selama itu pula, banyak sekali pengalaman-pengalaman yang aku dapat dari sini. Baik dari temen-temen yang udah mulai dewasa, senior, sampai berbagai motivasi dari guru-guru, khususnya kepala sekolah. Dan kalau boleh jujur, aku sangat terkesan. Dengan segala kekurangan yang ada, sekolahku ini mampu bangkit dan berusaha untuk terus, terus, dan terus menjadi yang terbaik. Memberikan apresiasi dari segala bidang untuk seluruh anak didiknya. Di sini pula aku merasa nyaman, aman, dan lebih bahagia daripada masa-masa SMP dulu. Intinya, kayak langit dan bumilah. :D
Di kelas XI ini, aku bisa lebih aktif lagi di organisasi. Kan yang XII udah tinggal leha-leha. Hehehe.. Di awal-awal tahun ajaran baru itu juga, mulai diadakan berbagai seleksi masuk organisasi. Kali ini klub bahasa yang lebih dulu menyelenggarakan. Waktu aku tau jadwal seleksi masuk klub bahasa, aku udah sinis duluan. Tapi, siapa sangka salah satu temanku yang menjadi salah satu anggotanya malah memintaku untuk ikut seleksi? Jadi ceritanya, ketua klub bahasa waktu rapat bilang supaya ngajak aku dan dua temanku yang lain. What?! Nggak salah, tuh, ketua nyuruh aku? Nggak ngerti gimana dendamku ke dia?
Karena merasa tertantang, aku terima tawaran ketua. Aku mengikuti tes tulis yang diselenggarakan sepulang sekolah. Aku menjawab segala pertanyaannya dengan serius dan amarah—atau semangat?—membara. Dan keseriusanku membuahkan hasil. Entah aku harus bersyukur atau berduka, karena aku ternyata lolos dan harus mengikuti seleksi selanjutnya, wawancara.
Wawancara dilaksanakan hanya sehari setelah tes tulis, sepulang sekolah. Dari kelas XI cewek, cuman aku yang lolos. Alhasil, aku harus berangkat sendiri. Berbeda dengan tahun kemarin yang diwawancara oleh pengurus inti klub bahasa, tahun ini wawancara dilakukan oleh guru bidang studi. Untuk bahasa Inggris, langsung oleh Waka. Kesiswaan, sementara bahasa Arab oleh guru yang mengajar Ilmu Tafsir di kelasku. Terang saja aku kaget. Aku sama sekali nggak siap untuk ini. Tapi aku juga sangat enggan untuk diwawancara langsung oleh ketua, mengingat betapa dalam rasa benciku padanya. Aku dilema. Dan aku nggak tau mana yang lebih baik.
Saat menunggu proses wawancara, aku lihat ada ketua. Dia tengah membicarakan entah apa dengan ketua klub bahasa yang baru. Begitu tau aku melihatnya, ketua baru segera keluar kelas dan duduk di luar. Ketua—mantan, tepatnya. Tapi boleh, kan, aku tetap memanggilnya ketua?— juga ikut keluar dan duduk di batas pintu kelas. Aku duduk tepat di samping ketua. Hanya terpisah tiga-empat jengkal. Bersama satu anggota lama klub bahasa kelas XI, ketua dan ketua baru asyik menceritakan reputasi klub bahasa setahun terakhir, selama klub itu masih dipimpinnya. Aku juga memberikan berbagai pendapatku dari sisi siswi yang mendapat ajaran dari klub bahasa. Di tengah-tengah perbincangan, ketua sempat bertanya,
”Kamu daftar bagian apa? Tetep di bahasa Arab?”
Setelah melirik ketua sekilas, aku menjawab, ”Iya.”
Bukannya mendukung, ketua malah bilang, “Kenapa nggak bahasa Inggris?”
DEG!
“Emangnya kenapa, mas?” tanya anggota yang bergabung bersama kami.
“Kan dia lebih fasih di bahasa Inggrisnya,” jawab ketua ringan, tanpa beban.
              Nyess.. rasanya bagai disiram air dingin. Gunung es yang dulu setinggi langit menghalangiku dengan ketua mulai luruh puncaknya. Aku hanya bisa memejamkan mata dan menahan perasaan agar tidak terlalu melayang senang. Aku bisa merasakan mukaku yang mendadak bersemu merah, tapi hanya sesaat. Karena tak lama kemudian, semuanya kembali seperti semula.
Udah terlanjur, mas. Kenapa nggak bilang dari dulu? gumamku dalam hati.
        Suasana canggung yang tercipta akibat perbincangan kecil itu dipecahkan oleh panggilan untukku memasuki ruangan wawancara. Berbagai pertanyaan terlontar oleh penguji. Saat diminta berbicara dalam bahasa Arab, terus terang aku sedikit gugup. Alhasil, omonganku banyak yang ngawur. Berantakan. Begitu keluar ruangan, tampangku seperti tampang orang yang akan divonis hukuman mati. Saat menghampiri ketua yang masih asyik ngumpul, aku bilang, “Huaaa... gagal, nih, kayaknya.” Entah berniat menenangkan atau gimana, ketua menyahut, “Tenang aja.. kelas XI bakalan dierima, kok.” Nah, lho? Kok gitu? Sia-sia, dong, berarti perjuanganku kemaren kalo nantinya bakalan diterima? Dasar ketua aneh!


*just wait for Aku dan Kamu part 4 (coming soon)