Here's the next part. Enjoy.. :)
***
Nggak kerasa,
setahun berlalu sejak aku masuk SMA MA. Selama itu pula, banyak sekali
pengalaman-pengalaman yang aku dapat dari sini. Baik dari temen-temen yang udah
mulai dewasa, senior, sampai berbagai motivasi dari guru-guru, khususnya kepala
sekolah. Dan kalau boleh jujur, aku sangat terkesan. Dengan segala kekurangan
yang ada, sekolahku ini mampu bangkit dan berusaha untuk terus, terus, dan
terus menjadi yang terbaik. Memberikan apresiasi dari segala bidang untuk
seluruh anak didiknya. Di sini pula aku merasa nyaman, aman, dan lebih bahagia
daripada masa-masa SMP dulu. Intinya, kayak langit dan bumilah. :D
Di kelas XI
ini, aku bisa lebih aktif lagi di organisasi. Kan yang XII udah tinggal
leha-leha. Hehehe.. Di awal-awal tahun ajaran baru itu juga, mulai diadakan
berbagai seleksi masuk organisasi. Kali ini klub bahasa yang lebih dulu
menyelenggarakan. Waktu aku tau jadwal seleksi masuk klub bahasa, aku udah
sinis duluan. Tapi, siapa sangka salah satu temanku yang menjadi salah satu
anggotanya malah memintaku untuk ikut seleksi? Jadi ceritanya, ketua klub
bahasa waktu rapat bilang supaya ngajak aku dan dua temanku yang lain. What?!
Nggak salah, tuh, ketua nyuruh aku? Nggak ngerti gimana dendamku ke dia?
Karena merasa
tertantang, aku terima tawaran ketua. Aku mengikuti tes tulis yang
diselenggarakan sepulang sekolah. Aku menjawab segala pertanyaannya dengan
serius dan amarah—atau semangat?—membara. Dan keseriusanku membuahkan hasil.
Entah aku harus bersyukur atau berduka, karena aku ternyata lolos dan harus
mengikuti seleksi selanjutnya, wawancara.
Wawancara
dilaksanakan hanya sehari setelah tes tulis, sepulang sekolah. Dari kelas XI
cewek, cuman aku yang lolos. Alhasil, aku harus berangkat sendiri. Berbeda
dengan tahun kemarin yang diwawancara oleh pengurus inti klub bahasa, tahun ini
wawancara dilakukan oleh guru bidang studi. Untuk bahasa Inggris, langsung oleh
Waka. Kesiswaan, sementara bahasa Arab oleh guru yang mengajar Ilmu Tafsir di
kelasku. Terang saja aku kaget. Aku sama sekali nggak siap untuk ini. Tapi aku
juga sangat enggan untuk diwawancara langsung oleh ketua, mengingat betapa
dalam rasa benciku padanya. Aku dilema. Dan aku nggak tau mana yang lebih baik.
Saat menunggu
proses wawancara, aku lihat ada ketua. Dia tengah membicarakan entah apa dengan
ketua klub bahasa yang baru. Begitu tau aku melihatnya, ketua baru segera
keluar kelas dan duduk di luar. Ketua—mantan, tepatnya. Tapi boleh, kan, aku
tetap memanggilnya ketua?— juga ikut keluar dan duduk di batas pintu kelas. Aku
duduk tepat di samping ketua. Hanya terpisah tiga-empat jengkal. Bersama satu
anggota lama klub bahasa kelas XI, ketua dan ketua baru asyik menceritakan
reputasi klub bahasa setahun terakhir, selama klub itu masih dipimpinnya. Aku
juga memberikan berbagai pendapatku dari sisi siswi yang mendapat ajaran dari
klub bahasa. Di tengah-tengah perbincangan, ketua sempat bertanya,
”Kamu daftar bagian apa? Tetep di
bahasa Arab?”
Setelah melirik ketua sekilas,
aku menjawab, ”Iya.”
Bukannya mendukung, ketua malah
bilang, “Kenapa nggak bahasa Inggris?”
DEG!
“Emangnya kenapa, mas?” tanya anggota
yang bergabung bersama kami.
“Kan dia lebih fasih di bahasa
Inggrisnya,” jawab ketua ringan, tanpa beban.
Nyess..
rasanya bagai disiram air dingin. Gunung es yang dulu setinggi langit
menghalangiku dengan ketua mulai luruh puncaknya. Aku hanya bisa memejamkan
mata dan menahan perasaan agar tidak terlalu melayang senang. Aku bisa
merasakan mukaku yang mendadak bersemu merah, tapi hanya sesaat. Karena tak
lama kemudian, semuanya kembali seperti semula.
Udah terlanjur, mas. Kenapa
nggak bilang dari dulu? gumamku dalam hati.
Suasana
canggung yang tercipta akibat perbincangan kecil itu dipecahkan oleh panggilan
untukku memasuki ruangan wawancara. Berbagai pertanyaan terlontar oleh penguji.
Saat diminta berbicara dalam bahasa Arab, terus terang aku sedikit gugup.
Alhasil, omonganku banyak yang ngawur. Berantakan. Begitu keluar ruangan,
tampangku seperti tampang orang yang akan divonis hukuman mati. Saat
menghampiri ketua yang masih asyik ngumpul, aku bilang, “Huaaa... gagal, nih,
kayaknya.” Entah berniat menenangkan atau gimana, ketua menyahut, “Tenang aja..
kelas XI bakalan dierima, kok.” Nah, lho? Kok gitu? Sia-sia, dong, berarti
perjuanganku kemaren kalo nantinya bakalan diterima? Dasar ketua aneh!
*just wait for Aku dan
Kamu part 4 (coming soon)