Langsung ke konten utama

Aku dan Kamu (part 4)

Seperti yang sudah dikatakan Ketua, aku diterima di klub bahasa. Rasanya berat banget. Jujur, aku nggak siap harus tampil di depan kelas selama tiga kali seminggu. Nggak pede...... >.< Walaupun kebencianku sekarang nggak memuncak lagi dengan Ketua, aku tetap saja enggan melihatnya. Terutama saat pembukaan muhadloroh bahasa di bulan September lalu. Para petugasnya berasal dari anggota baru klub bahasa. Dan kebetulan aku yang ditunjuk sebagai pembawa acara bahasa Arab. Jangankan untuk tampil di hadapan seluruh warga sekolah, di depan kelas saja aku sudah malu setengah mati. Alhasil, penampilanku berantakan. Suaraku terlalu pelan, sehingga kurang bisa didengar. Naskah juga banyak yang nggak jelas. Aaaarrrgghhh.... serasa ingin ditelan bumi saja.
Hanya selisih beberapa hari dengan muhadhoroh bahasa, diumumkan seleksi untuk mengikuti olimpiade PAI dan SKI yang diadakan oleh UIN Sunan Ampel Surabaya. Seleksi diadakan hari Kamis siang. Aku sengaja mengikuti keduanya, karena takutnya kalau hanya satu bakalan ada yang nggak lolos. Seleksi PAI sendiri alhamdulillah bisa aku lewati dnegan lancar. Karena semua materinya adalah materi yang aku pelajari sehari-hari. Untuk yang SKI, jujur, aku sendiri rada kewalahan. Mana hafal aku tentang tahun dan nama-nama pahlawan di masa Dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan sebangsanya itu? Terakhir aku belajar SKI saja sudah setahun yang lalu. Ya sudahlah, semoga yang PAI aku bisa lolos. Aku pengen banget bisa jadi duta sekolah buat perlombaan ini.
Selang beberapa hari, aku terus menanti pengumuman dengan rasa tak sabar. Aku sudah pesimis saja bakalan gagal. Tapi di suatu Selasa, ada mas-mas kelas XII-IPA yang datang ke kelasku tepat saat aku tengah pelajaran mawaris (faroid/ilmu waris). Dia manggil aku sama salah satu temenku. Aku yang kondisi ngantuk berat bingung setengah mati. Ngapain aku dipanggil Waka. Kesiswaan? Apalagi, aku sama temenku ini bertolak belakang banget. Setelah mikir beberapa lama, aku akhirnya ngeh kalo kesamaan kami sama-sama pernah ikut seleksi olimpiade PAI-SKI. Oalah.. baru nyambung. Tapi tunggu.. berarti aku lolos, dong? Yeee... alhamdulillah. Nyampe di kantor, aku lihat ada dua lagi temanku dari XI-IPA, satu anak kelas X, mbak-mbak kelas XII-IAI2, mas yang tadi manggil aku, anak kelas XI-IAI1, sama Ketua. Lho? Kok ada Ketua lagi? Emangnya dia ikutan seleksi, ya? Akhirnya, Pak Irud, Waka. Kesiswaan jelasin tentang teknis perlombaan dan materinya. Buat peserta olimpiade PAI, pesertanya ada aku, mbak Mamam (XII-IAI2), Udzma (XI-IPA), Putra (XI-IPA), sama Ketua. Ditambah mas Yahya (XII-IPA) dan Hida (XI-IAI1) yang ikut MTQ di hari yang sama bareng olimpiade PAI, 25 September 2014. Sementara untuk peserta olimpiade SKI, ada Nani (XI-IAI2), mbak Mamam (XII-IAI2), Udzma (XI-IPA), Rohman (X-IPA1), dan Ketua. Iya, Udzma, mbak Mamam, sama Ketua ikut kedua olimpiade itu. Dan ternyata, Ketua ikut tes susulan, makanya pas seleksi awal itu aku nggak ngerasa ngeliat.
Tepat seminggu setelahnya, peserta olimpiade PAI-SKI dan MTQ berkumpul lagi. Kali ini untuk mengurus proses pendaftaran dan pembagan materi untuk peserta olimpiade PAI. Semua peserta berkumpul, kecuali Udzma. Termasuk juga ketua. Oleh Pak Irud, aku diminta mengisikan formulir pendaftaran olimpiade PAI. Saat menuliskan nama Ketua, aku sempat kebingungan. Aku kurang begitu paham dengan nama lengkapnya. Aku melirik Ketua yang tengah berbicara dengan mas Yahya. Dan formulir pendaftaran olimpiade SKI sudah tuntas diisinya. Aku ingin meminjamnya untuk menuliskan nama Ketua, tapi aku bingung memulai darimana. Baru saja aku membuka mulut untuk memanggil Ketua, Ketua sudah melihatku. Menangkap basah aku yang sedari tadi memperhatikannya. Kontan mukaku memerah walau hanya sesaat. Ketika aku sudah mengambil alih pikiranku, aku katakan pada Ketua, “Mas, pinjem formulirnya buat nulis nama pean.” Tanpa banyak bicara, Ketua memberikan formulirnya. “Oh, iya, nih.” Fiuh.. rasanya nggak karuan. Sama sekali tidak ada dalam bayanganku untuk bisa didekatkan dengan Ketua dalam kondisi seperti ini.
Beres dengan nama ketua dan pembagian materi, aku dan Nani kembali ke kelas. Aku sudah lupa sama sekali dengan kejadian bersama Ketua dan kembali fokus ke pelajaran. Tapi aku baru sadar akan satu hal, ternyata Ketua mempunyai mata yang sanggup membuatku, orang yang sangat membencinya, luluh dalam sekejap.
Hari demi hari aku lewati dengan mempelajari materi sendiri. Terkadang aku bingung, kenapa tidak ada diskusi bersama? Bukankah akan terasa lebih mudah jika bisa semua materi dibahas bersama. Apalagi ini materi kelas X-XII. Dan bener aja, hari Senin minggu berikutnya (H-3 lomba), dari jam 3-4 sampe 7-8, kita berlima kumpul di ruang OSIS buat belajar bareng. Karena waktu udah mepet, jadi kita bahas latihan soal yang ada aja. Dari latihan soal itulah, kita dapet penjelasan lebih dalam. Baik dari Ketua ataupun mbak Mamam. Banyak hal baru yang aku baru dpet dari Ketua. Baik dari pengetahuan agama, sampai beapa dalam ilmu yang dimiliki Ketua. Di sela-sela diskusi ini, tak jarang Udzma mengajukan beberapa pertanyaan. Wajar saja, dia kan dari IPA. Banyak yang belum dia ketahui dalam beberapa bagian pelajaran agama. Dan tentu saja dalam hal ini Ketua yang menjawabnya. Entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, aku merasa setiap kali Ketua menjawab pertanyaan Udzma, pandangan Ketua selalu ditujukan padaku. Seolah-olah aku yang bertanya padanya. Hal ini membuat sesuatu di lubuk hatiku berdesir setiap kali tatapan kami bertemu.
Tidak mau kalah dengan Udzma, aku juga ikut bertanya pada Ketua tentang berbagai masalah masyarakat yang selama ini mengganggu pikiranku. Tapi mungkin karena Ketua masih belum yakin dengan jawabannya, pertanyaanku dibuat PR olehnya. Mendengarnya, aku sudah merasa sangsi. Yakin bakalan dicari tahu?, pikirku saat itu. Tapi mengingat Ketua yang selalu ingin tahu tentang segala hal, aku berusaha positive thinking. Diskusi ini ditutup ketika bel pulang sekolah sudah terdengar. Alhamdulillah, materi sudah selesai separuhnya. Tinggal separuh lagi. 
Saat perjalanan kembali menuju kelas, aku terus saja memikirkan Ketua. Walau hanya di hadapan kami berempat, perfomance-nya benar-benar sanggup bikin aku terkesan. Aku mulai melihat Ketua dari sisi yang berbeda. Perasaan benci yang dulu memenuhi isi hatiku kini pudar. Digantikan rasa kagum luar biasa pada Ketua. Yah.. belum sepenuhnya juga, sih. Mengingat saat itu aku masih sedikit menyangsikannya. Huff.. entahlah. Semuanya terlalu rumit untuk dipikirkan. Hanya satu hal yang aku tau, ada sesuatu yang lain kini saat aku bertatapan dengan Ketua.