Langsung ke konten utama

Aku dan Kamu (part 5)



            Ternyata, baik hari Selasa maupun hari Rabu, nggak ada lagi diskusi bareng dengan Ketua. Entah kenapa, aku merasa kecewa. Tapi semuanya beralasan, sih. Hari-hari itu kan lagi musim UHT (Ulangan Harian Terprogram). Jadi wajar saja jika semuanya lebih memilih mengikuti UHT. Tambah lagi jelang manasik haji. Putra yang paling sibuk dalam hal ini. Alhasil, tidak ada lagi belajar bersama.
            Tapi kami akhirnya berkumpul di hari Rabu sore (H-1) untuk diberikan pengarahan tentang teknis besok oleh Pak Irud. Kami positif memakai seragam putih abu-abu karena kepala sekolah selalu meminta agar para duta sekolah memakai jas almamater. Karena registrasi dimulai pukul 07.30, kami diminta berkumpul pukul 05.00. Dan karena asramaku, mbak Mamam, dan Udzma yang cukup jauh dari sekolah, maka khusus kami—yang cewek— akan dijemput mobil sekolah di depan asramanya. Kalau aku dan mbak Mamam di depan pos asrama IV. Cuman yang cowok yang diminta datang ke sekolah. Apalagi Ketua yang asramanya hanya selisih dua bangunan dari sekolah.
            Sepulang sekolah, aku diajak mbak Mamam untuk meminta “wejangan” dari kepala sekolah. Awalnya aku malas, apalagi waktu udah sore banget, tapi tetep aja aku dipaksa. Jadilah aku mengikutinya. Dan kupikir, kepala sekolah akan memberikan ceramah panjang seperti kala sambutan, tapi ternyata hanya memberikan beberapa patah kata, “Kalau pulang, jangan lupa bawa oleh-oleh.” Hanya itu. Tak lebih, tak kurang. Singkat, tapi jelas.
            Begitu sampai di asrama, aku segera mempersiapkan segala yang aku butuhkan untuk besok. Terutama perbekalan, karena besok aku akan berangkat lebih pagi. Sebenarnya untuk urusan ini sudah pasti disiapkan sekolah, sih, tapi aku nggak mau nanggung resiko maag-ku kambuh di tengah jalan. Karena itu aku juga mempersiapkan obat maag di kantung tas.
            Keesokan harinya, aku bener-bener full-prepared. Aku pastikan semuanya aman terkendali. Tanpa ada kekurangan sedikitpun. Untuk jamaah shubuh pun aku hanya mengikuti sholatnya saja. Begitu istighotsah dimulai, aku langsung kabur dari musholla dan bersiap berangkat. Aslinya, aku ingin berangkat setelah teman-teman selesai jamaah, tapi sayang, waktu sudah sangat mepet. Padahal kurang sedikit lagi jamaah selesai. Tepat pukul 05.00 aku keluar dari kamar. Baru juga make sepatu di depan asrama, mbak Mamam sudah menjemput. Berdua kita menuju pos asrama IV dan menunggu mobil sekolah lewat.
Tapi sampai beberapa menit, tidak ada tanda-tanda mobil lewat. Diputuskan untuk kita berangkat ke sekolah. Baru sampai setengah jalan, Pak Irud sudah lewat dengan motornya. Jadilah aku dan mbak Mamam kembali ke pos dan menunggu di sana. Kurang dari lima menit, mobil sekolah sudah lewat. Bisa kulihat bangku belakang sudah penuh dengan peserta cowok. Mulai dari Hida, Putra, mas Yahya, sampai Ketua. Dan karena Ketua yang berbadan paling kecil, dia mendapat posisi di pinggil jendela. Aku hanya tersenyum sekilas padanya. Aku sendiri duduk di samping cak Ahmad, alumnus UINSA yang mengabdi di sekolah. Di sampingku Udzma, dan di pinggir jendela, tepat di depan Ketua, mbak Mamam. Dia memang sedikit anti-kendaraan, makanya minta duduk di pinggir jendela dengan jendela terbuka lebar. Sementara jalanan pagi sudah cukup banyak polusi yang sedikit mengganggu pernafasanku. Tapi, yah, mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur. Akhirnya aku hanya bisa tutup hidung setiap kali mencium polusi.
            Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya kami bercerita. Pak Irud memastikan istirahat kami semalam cukup. Hampir semuanya menjawab terlalu cukup. Hanya Ketua yang mengatakan hampir tidak bisa tidur. Hida langsung menyahut, “Keasyikan belajar, mas?” Ketua hanya tersenyum tipis. Tanpa menyahut apapun.
            Entah karena jam berangkat yang lebih pagi dari biasanya atau capek bercerita, satu per satu dari kami jatuh tertidur. Mbak Mamam, Udzma, dan mas Yahya yang aku tau jelas. Juga Putra. Hida sepertinya terlalu asyik dengan HP-nya. Yeah, Hida nggak tinggal di asrama, wajar saja dia bisa membawa HP. Hanya Ketua yang tampak serius mempelajari materi olimpiade. Aku tau karena sempat meliriknya sekilas.
            Aku lupa saat itu sampai dimana, pokoknya saat itu Pak Irud membeli koran saat tengah terjebak lampu merah. Kemudian koran itu diberikan pada Cak Ahmad. Saat itu, Cak Ahmad kebetulan membaca berita olahraga pas bagian Lampard (ex. Chelsea) yang mencetak angka bagi tim barunya saat bertanding melawan Chelsea. Aku yang baru tau informasi itu bertanya pada Cak Ahmad. Dan ternyata, Lampard memang keluar dari Chelsea. Entah karena apa. Selesai Cak Ahmad membaca korannya, aku mulai membaca berita-berita terbaru. Yah, bukan berita juga, sih. Aku lebih suka membuka halaman Deteksi Jawa Pos. Tapi baru membaca beberapa bagian, kepalaku sudah pusing duluan. Yah, penyakit lamaku kambuh. Aku memang tidak tahan membaca saat berada di dalam kendaraan. Alhasil, koran itu kulipat kembali dan kuletakkan di pangkuanku. Saat itulah, Ketua melihatku yang tak lagi membaca koran. Ketua meminta koran itu. “Fin, pinjem korannya, dong.” Aku memberikannya pada Ketua tanpa berkata apa-apa. Campuran antara gugup dan kepala yang masih pusing. Saat memberikan koran itulah, aku melihat air muka Ketua terlihat lebih cerah dari biasanya. Kalau sehari-harinya Ketua selalu tampil tanpa ekspresi, maka kali ini Ketua sedikit ceria. Entah apa sebabnya. Tapi aku lebih suka melihat Ketua seperti ini.
            Kami sampai di UINSA pukul 07.20. Sepuluh menit lebih awal dari yang diduga. Karena masih agak pagi, kami diminta sarapan dulu di parkiran. Fiuh.. rasanya lega banget waktu keluar dari mobil. Capek duduk selama dua jam lebih. Begitu turun, Ketua langsung pergi entah kemana dengan mas Yahya. Tapi nggak lama. Nggak nyampe lima menit juga. Aku kira mereka mau sholat dhuha. Karena di dekat parkiran ada masjid UINSA. Selesai makan, masih ada waktu sedikit. Aku pengen banget bisa sholat dhuha. Mbak Mamam juga. Paling enggak, kita bisa berdoa dulu sebelum “berperang”. Belum juga ngomong, Pak Irud sudah bilang, “Hari ini nggak sholat dhuha dulu, ya? Nggak papa kan? Takutnya nanti terlambat.” Yah, pupus sudah. Tapi seolah tak mau menyerah, mbak Mamam minta izin ke kamar mandi untuk wudhu. Aku sendiri juga ikut bareng Udzma, tapi aku nggak ikut wudhu. Kondisi perutku masih berantakan. Takutnya tengah jalan udah batal lagi.
            Beres urusan itu, kita menuju auditorium UINSA untuk melakukan registrasi dan pembukaan olimpiade. Karena proses registrasi masih cukup lama, kami bertujuh diminta memasuki auditorium dulu. Nah, saat itulah aku mendengar dari peserta yang duduk di belakangku yang bertanya pada panitia bahwa pengerjaan soal menggunakan LJK. Sementara aku sama sekali tidak mempersiapkannya. Udzma masih bisa tenang karena sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Berbeda dengan aku dan mbak Mamam. Karena itu aku langsung menghampiri Ketua bersama mbak Mamam.
“Mas, bawa pensil 2B nggak?” tanyaku.
“”Nggak, eh. Kenapa?” jawab Ketua tanpa ekspresi.
“Tadi aku denger ada yang tanya ke panitia dan katanya pengerjaannya make LJK. Sementara kita nggak ada persiapan.” Maksudnya aku dan mbak Mamam.
            Tanpa ba-bi-bu, Ketua segera menghadap Pak Irud dan menjelaskan situasinya. Setelah memastikan pada panitia mengenai pernyataanku tadi, Pak Irud pergi entah kemana dengan Cak Ahmad. Maaf, Pak. Belum-belum, kita udah ngerepotin, kataku dalam hati. Ketua segera kembali di tempatnya dan mengisyaratkan agar aku juga kembali ke tempatku.
            Tak sampai sepuluh menit, Pak Irud menghampiri tempatku dan memberikan pensil berikut penghapusnya. Aku jadi sedikit merasa bersalah. Dalam hati aku bertekad untuk berjuang keras kali ini. Karena itu, begitu pembukaan Olimpiade PAI dan MTQ dalam rangka Miladiyah FAI UINSA selesai dan peserta olimpiade diminta menuju gedung A Fakultas Tarbiyah, aku berjanji akan berusaha keras untuk bisa membanggakan nama sekolah. Saat melewati kursi mas Yahya, dia menyemangati kami. “Semangat ya semuanyaa...” Senyum yang ditambah wajahnya yang memang dari sononya cakep membuat semangatku serasa dipompa. Aku kemudian berjalan di belakang Ketua dan Putra, bersama mbak Mamam dan Udzma di sampingku. Langkahku tegap. Arahku mantap. Aku sudah siap berperang kini.
            Saat melihat pembagian ruangan, aku ternyata satu ruang dengan Udzma, mbak Mamam bersama Ketua, sementara Putra sendiri. Aku segera mencari ruanganku bersama Udzma. Saat sudah duduk di ruangan, mbak Mamam datang dan memberikan semangat. Pengerjaan soal dimulai tepat pukul 09.30. Bismillaahirrohmaanirrohiim......