Langsung ke konten utama

[Sharing] Being Quiet in the Noisy World

Bagiku, dunia ini selalu berisik. Ada begitu banyak standar yang ditetapkan untuk bisa memiliki "'kehidupan impian". Sukses berarti banyak uang, rumah mewah, selalu tampil dengan busana bermerek. Cantik berarti tinggi semampai, berkulit putih, mulus, tanpa cacat. Jika semua standar ini memang berlaku, lantas, bagaimana dengan makhluk yang diciptakan sebaliknya oleh Dia?
Beberapa hari terakhir, aku semakin malas membuka akun sosial media. Followingku semakin berkurang. Menyisakan beberapa akun teman yang benar-benar kukenal, satu-dua public figure yang tidak terlalu sering posting, dan banyak akun penyedia informasi. Online shop? Ada satu-dua. Itupun karena mereka hanya bukalapak di situ. Karena jika mereka memiliki marketplace lain atau website, sudah ku-unfollow. Capek bok. Nafsu pengen terus konsumtif, padahal tabungan sudah habis. Aku ingin mencoba berhenti "memanjakan" mata orang lain. Ingin berhenti menuruti segala tetek bengek standar yang entah ditentukan oleh siapa itu. Karena sulit buatku melakukannya. Sudahlah.. aku akan mencoba "menarik" dengan caraku sendiri.
Aku introvert. Kuakui itu. Sejak kecil, aku dididik untuk bisa mandiri. Tidak terlalu merepotkan orang lain. Sekali-dua kali tentu, tapi tidak sampai bergantung. Rasa ingin tahuku tinggi, hingga terkadang dapat membahayakan diriku sendiri. Seringkali aku merasa aku harus mengontrolnya. Apalagi jika keingintahuan itu pada sesuatu yang baru kutemui. Pengalaman menunjukkan, aku lebih sering "merusaknya" daripada baik-baik saja. Tapi dari situ aku tahu hukum sebab-akibat. 
Daripada berbicara secara verbal, aku lebih sring menunjukkan bahasa nonverbal. Aku lebih baik mendengarkan apa yang kau ceritakan, daripada aku harus bercerita, kecuali dalam ruang lingkup kecil. Dalam forum seukuran kelas saja, aku enggan mengangkat tangan dan bertanya sesuatu yang belum kupahami, lebih baik menunggu hingga kelas selesai, lalu bertanya langsung. Iya, aku benci menjadi pusat perhatian. Pengalaman bahwa menjadi pusat perhatian berarti harus siap diolok-olok jika melakukan kesalahan membuatku sedikit takut. Tapi bukan berarti aku sama sekali tidak bisa di depan. Aku bisa, tapi hanya jika aku suka dan paham betul dengan apa yang akan kusampaikan. Jika sebaliknya, jangan harap aku mau maju. Aku juga menghindari basa-basi. Kalimat pembuka boleh, tapi setelahnya to the point. Lebih hemat tenaga dn waktu, bukan?
Aku tidak bisa bertahan dalam keramaian dalam waktu yang lama. Apalagi jika hanya diam saja. Harus bergerak, atau aku akan merasa pusing dan bingung melihat banyak orang. Jika aku tidak memiliki jadwal, aku lebih suka berdiam diri di kamar. Literally hanya diam. Tiduran sambil membaca novel atau menonton drama jauh lebih menarik daripada aku harus keluar rumah. Karena pasti akan membuang uang.
Lantas, bagaimana aku menjalani hari-hari sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi? Well, itu tidak akan menyulitkan di semester awal. Bahkan aku menyukai materinya. Tapi semakin lama, aku harus menghadapi banyak praktik yang membuat kepalaku pening. Sampai aku berusaha menghindari satu mata kuliah tentang public speaking. Kata temanku (yang juga introvert), justru dia memanfaatkan kesempatan iniuntuk berubah. Yah, motivasi kami berbeda. Aku juga ingin bisa -minimal- menguasai publik, tapi aku akan melakukannya dengan caraku sendiri. Setiap orang memiliki privasi, bahkan meskipun orang itu adalah public figure. Kecuali dia mengizinkan, aku -belakangan ini- berusaha unuk tidak mengusik privasinya. Sejujurnya, aku ngeri setiap kali melihat orang terkenal, yang begitu muncul, maka ada banyak kamera yang mengarah kepadanya (kecuali jika sedang konferensi pers). Jujur, aku juga melakukannya hari ini. Aku mencoba menahan, tapi lepas juga. Ketika acara selesai, aku juga ingin swafoto bersama, tapi melihat dia yang mungkin juga lelah, kuurungkan. Hanya bersalaman, lalu pulang. Menyesal? Tentu. Aku tidak tahu kapan kesempatan ini datang lagi. Tapi jika aku ada di posisinya, aku juga tidak ingin diserang di keramaian. Apalagi jika panitia memang tidak memberi kesempatan untuk swafoto. Apa kata dosen kemarin? "Coba saja, paling cuma dibentak." Sorry, Sir, but I still choose no. Biar dia lewat dengan tenang.
Fiuh.. hari yang melelahkan. Sepertinya pembahasanku banyak yang melantur. Maafkan hehe.. Sebenarnya masih ada ceria lain, tapi mungkin lain kali. Kuceritakan ini juga karena sudah mengganjal sejak tadi. Baiklah, sampai jumpa lagi :)