Langsung ke konten utama

Pengalaman Konsultasi Psikologi


Dengan dimulainya tahun 2019, maka aku secara resmi memasuki semester 6 perkuliahan. Semester tua, dan memasuki usia untuk mulai berpikir mengenai masa depan. Menyelesaikan proses perkuliahan, bersiap melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata), magang, hingga seminar proposal dan sidang skripsi. Aku juga berada di usia untuk mulai memikirkan akan melanjutkan hidup sebagai apa: bekerja, berbisnis, atau yang lain. Mulai mempersiapkan keahlian khusus, memikirkan tentang pernikahan, dan sebagainya. Banyaknya pikiran mengenai hal-hal seperti ini terus terang membuatku tertekan.
Selama bulan Januari, jeda semester, aku tidak pulang, memilih untuk bekerja part-time di laundry dekat kos. Selama hari-hari itu, aku cukup kesepian, sehingga kepalaku terlalu banyak berpikir, yang berdampak pada perubahan emosi, jam tidur berantakan, dan mood kurang baik. Aku baru bisa tidur setelah tengah malam dan bangun saat matahari sudah terbit (melewatkan subuh), pada saat-saat tertentu, aku bisa menangis dengan mudah hanya dengan mendengar lagu gloomy atau membaca kalimat penyemangat dari Twitter. Aku juga merasa energi mentalku terkuras karena setiap hari harus berhadapan dengan orang, meladeni pembicaraan yang seringkali aku tidak tertarik. Mood-ku lama kelamaan menurun, menyebabkan aku lebih sering diam, hanya mendengarkan tanpa banyak reaksi, dan selalu ingin kabur menyendiri tanpa melakukan apapun seharian. Hal ini terus berlangsung selama satu bulan, membuatku terganggu karena aku jadi tidak bias mengendalikan diriku sendiri.
Setelah banyak berpikir, meyakinkan diri, dan berkali-kali menunda, aku akhirnya berangkat menuju Puskesmas Depok 3 Yogyakarta untuk melakukan konsultasi psikologi. Aku berangkat hari Sabtu, saat kuliah libur. Aku datang, mengambil nomor antrian, registrasi, kemudian menuju lantai 2 untuk menunggu di depan ruang konsultasi. Biayanya cukup murah. Hanya 26.000 untuk sesi 30-45 menit. Mungkin terdengar lama waktunya, tapi percayalah, saat kalian sudah bercerita, waktu itu terasa kurang.
Saat aku akhirnya masuk ruangan, aku masih merasa takut dan terus berpikir, apakah ini sudah benar? Psikolog kemudian memperkenalkan diri, dan mulai bertanya: Apa yang bias saya bantu? Kujawab dengan jawaban yang sudah kuhafal: sudah satu bulan saya sulit tidur. Kujelaskan juga emosi yang kualami sepanjang bulan lalu. Selama bercerita, tidak jarang aku berhenti karena menahan tangis, atau bahkan menangis. Kertas antrian yang di tanganku kujadikan pelampiasan dari rasa sakit yang kurasakan. Bentuknya sampai tidak karuan: lecek, tergulung, nyaris sobek. Karena ternyata ceritaku belum selesai, Psikolog sebenarnya ingin agar aku bersedia kembali lagi, sehingga bisa diberikan kesimpulan atas apa yang terjadi di dalam diriku. Tapi bahkan sampai sekarang aku belum kembali. Jadwal saat weekend sangat padat. Dan, yah, sejujurnya aku butuh untuk kembali, karena kini aku semakin banyak pikiran, yang aku merasa jika aku tidak mulai mengatur prioritas, aku bisa kewalahan dan berakhir seperti dua bulan lalu.
Hari-hari setelah konsultasi, anehnya aku justru merasa baik-baik saja (syukur alhamdulillah sebenarnya). Aku merasa beban-beban itu terasa ringan. Kepalaku bahkan seperti kosong, tidak lagi banyak berpikir. Hal yang kuingat saat sesi konsultasi adalah, ketika aku sebenarnya takut bahwa aku hanya membesarkan masalah, bahwa yang kualami ini hanya hal sepele yang juga dialami oleh orang lain, mbak Psikolog bilang:
“Hei, tidak begitu. Kadar seseorang dalam menerima sesuatu berbeda. Mungkin bagi orang lain itu sepele, tapi kamu bahkan merasa sakit dan cukup terganggu karenanya. Tentu itu bukan hal yang sepele lagi.”
Lalu saat aku menceritakan peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudah aku merasakan perubahan emosi itu: “Mungkin rasa sakit itu karena kamu masih merasa bersalah? Mungkin kamu bisa berusaha untuk menerimanya, sehingga kamu bias meredam rasa sakit itu.”
Simpulan sementara dari perasaanku saat itu: “Mungkin, mungkin karena kamu selama ini menjalani hidup dengan baik-baik saja, karena itu ketika sekarang kamu jatuh, luka yang kamu punya terasa lebih sakit, karena kamu belum pernah jatuh seperti saat ini.”
Ada banyak sebenarnya tanggapan-tanggapan beliau, hanya yang teringat di kepalaku seperti ini. Ah, beliau juga memberikan apresiasi karena aku bersedia “meminta bantuan” saat dalam kondisi seperti itu, bukannya hanya memendam semua perasaan.

Jika diantara kalian ada yang mengalami hal serupa, jangan ragu meminta bantuan ya. Rasanya sakit sekali bukan? Merasa tidak berguna, tidak tahu apapun tentang dunia, bahkan terpikir untuk mengakhiri semuanya? Ayo bertemu professional. Setidaknya, kamu bisa berbagi kisahmu tanpa takut dihakimi seperti pada orang lain. Aku bersamamu 😊 Ayo berjuang bersama ^^