Senin (29/4) lalu, aku menonton 27 Steps of
May. Mulanya aku hanya bingung hendak melakukan apa, kuliah selesai lebih awal,
dan aku tidak ada janji khusus (mencoba melupakan proposal magang yang belum
ada kabar). Kemudian temanku, yang sudah menonton film itu lebih dulu
merekomendasikannya. Karena aku cukup kesal dengan isi bioskop yang didominasi
Endgame dan belum ada film baru lagi di CGV. Baiklah, jamnya cocok, aku segera
meluncur dan menonton. Aku nggak ada ekspektasi apapun, mengingat pemainnya
tidak ada yang menonjol (menurutku).
27 Steps of May bercerita tentang trauma May (diperankan
Raihaanun) yang diperkosa di usia dini, menimbulkan trauma mendalam dan
menyebabkan dia berhenti berkomunikasi secara verbal selama 8 tahun. Kesehariannya
sebatas olahraga, membuat boneka, dan makan. Semua dilakukan tanpa keluar dari
rumah. May memutus komunikasi dengan dunia, termasuk ayahnya (diperankan Lukman
Sardi). Sesekali ketika dia teringat pengalaman pahitnya, dia segera melukai
lengannya dengan silet kecil. Di lengannya banyak sekali bekas luka, baik baru
maupun lama. Menunjukkan betapa seringnya dia melukai dirinya sendiri. Ayah May
merasa bersalah atas peristiwa yang menimpa May. Di rumah, dia menjadi ayah
yang lembut, menyediakan segala kebutuhan may, dan melindunginya. Tapi di luar
rumah, dia menjadi “ganas”, melampiaskan amarahnya di ring tinju dan pegulat
amatir. Performanya bergantung pada kondisi May. Jika kondisi May bagus, dia
bertarung dengan akal sehat. Jika sebaliknya, maka dia akan bertarung dengan
amarah.
Rutinitas May “berubah” sejak kebakaran yang
menimpa rumah belakang mereka. Kejadian itu menciptakan lubang kecil di kamar
May yang terhubung dengan ruang latihan pesulap (diperankan Ario Bayu). Lubang itu
awalnya sekecil koin, kemudian membesar hingga cukup dilalui May yang kurus. Dari
lubang itu, May melihat dunia lain selain dunia yang selama ini dikenalnya. Dia
melihat berbagai hal yang Pesulap lakukan. Sesekali mereka berinteraksi kecil tanpa
verbal. Sesekali pula May teringat lukanya dan kembali melukai dirinya. Namun waktu
berlalu, interaksi mereka semakin intens. May memberanikan diri mengenal “warna”
lain. Meski awalnya terpaksa, May (yang awalnya hanya memakan makanan “putih”)
berkenan mencoba makanan “berwarna”. Ayahnya senang, tapi juga khawatir. Takut jika
kondisi ini akan melukai May lagi nantinya. Tapi juga sedikit berharap May
segera membaik.
Puncak cerita film ini adalah ketika akhirnya
May menerima lukanya dan menceritakannya kepada Pesulap. Dia memperagakan
bagaimana kejadian itu dengan detail. Pesulap awalnya tidak mengerti, namun
ketika mendapat poinnya, dia sedikit terkejut, tidak menyangka luka May akan
sedalam itu. Dan, yah, akhirnya May bisa melangkahkan kakinya, melangkah 27
langkah sampai keluar rumah.
Cerita ini, terus terang, sangat di luar
kebiasaan. Mengungkapkan betapa korban kekerasan seksual tidak bisa dianggap
remeh. Bahwa bukan hanya soal keperawanan di sana, tapi juga ada luka jiwa dan
trauma dalam diri mereka yang justru butuh waktu lebih lama untuk disembuhkan. Terlebih
untuk korban di bawah umur. Tapi nyatanya, di negeri ini, mereka masih diabaikan.
Dianggap remeh. Seolah luka itu akan baik-baik saja (tanpa trauma mendalam). Ravi
Bharwani, sutradara, menggambarkan setiap adegan dengan baik. Risetnya saja
bahkan perlu bertahun-tahun (lihat selengkapnya di sini). Film ini tidak banyak dialog, pemaparan
adegan lebih banyak melalui non-verbal. Kegelisahan, ketakutan, amarah,
kesedihan, penasaran, cemburu, semua perasaan May hanya diungkapkan melalui
ekspresi wajah dan gerak tubuhnya.
Banyak hal yang aku suka dari film ini,
seperti:
- Penggambaran
emosi May melalui perilakunya
- Penggambaran
emosi ayah May, baik di rumah dan ring bermain
- Pendekatan
secara hati-hati yang dilakukan Pesulap
- Bagaimana
boneka menjadi salah satu cara May menunjukkan perasaannya
Kalau ada satu kritik untuk film ini, adalah
ketika ending terlalu cepat. Alur cerita disajikan dalam tempo lambat, karena
itu ketika menuju ending, tahu-tahu “selesai”
begitu saja. Setidaknya, agar bisa “nyambung”, masih diperlukan beberapa adegan
lagi. Dengan ending seperti itu, akan
timbul banyak pertanyaan:
“Jadi pesulap itu nyata atau tidak. Kalau tidak,
bagaimana mungkin dia dipukul oleh ayah May. Kalau nyata, mengapa saat May
keluar rumah, dia tidak hadir, setidaknya, melihat?”
“Pengantar boneka hanya berfungsi untuk menyuarakan
perasaan ayahkah? Kenapa dia tidak diizinkan untuk melihat perubahan May? Toh dia
juga banyak tahu tentang kondisi May. Termasuk ‘manajer’ ayah May.”
Kejanggalan ini cukup mengganggu. Karena,
bayangkan saja, penonton sudah terharu dengan penerimaan May atas lukanya, tiba-tiba
lampu bioskop menyala. Kan cukup menyebalkan. Belum lagi ending cepat itu cukup kontras dengan alur cerita yang lambat.
Tapi, kembali lagi ke konten. Cerita ini sangat
bagus. Kuberi skor 4,5/5 untuk ide cerita, penggambaran, dan riset mendalamnya.
Terima kasih sudah menyajikan cerita baru ini. Semoga semakin banyak lagi cerita-cerita
edukasi yang tayang di layar lebar atau layar televisi demi negeri yang semakin
baik (semoga).
PS: saat ini aku sedang menantikan film Dua
Garis Biru, menceritakan tentang seks bebas di usia remaja. Semoga bisa
menonton langsung.