Langsung ke konten utama

(Kembali) Menjadi Santri (Selama Dua Hari)


Kisah ini tentang aku, temanku yang baru saja sarjana, dan teman kosku. Kami satu almamater di pesantren. Saat memutuskan untuk melakukan perjalanan ini, aku dan teman-temanku merasakan betul kuasa-Nya. Bagaimana tidak? Pertama, satu temanku yang seharusnya sidang hari Rabu, mendadak diganti menjadi hari Jumat. Berbarengan dengan undangan pernikahan teman sekelas kami di Kota Santri. Kedua, teman kosku yang tadinya ingin hadir di acara inti pernikahan, hari Jumat, dan melewatkan sidang teman kami, mendadak batal pergi karen hujan deras mengguyur Jogja (nyaris) semalaman. Ketiga, aku yang tidak mendapat undangan, hanya berpikir untuk menghadiri sidang temanku, lalu menghabiskan akhir pekan dengan tidak melakukan apapun. Namun Dia berkehendak lain. Saat kami makan siang bersama selepas temanku sidang, dua temanku ini berencana untuk mencoba tetap berangkat ke Kota Santri. Firasatku sudah mulai tidak enak. Dan semakin tidak enak begitu mereka bilang, “kita juga bisa berkunjung ke sekolah”. Hmm.. tawaran ini sulit ditolak. Aku dengan cepat menghitung sisa uangku, mengira-ngira apakah cukup hingga akhir bulan dan kepergianku saat bepergian sepuluh hari berikutnya.atas izin-Nya, dana yang kumiliki cukup. Jadilah kami pergi bertiga. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun. Hah.. aku merasa seperti menulis latar belakang. Lol..
Kalau begitu, sekarang mari masuk ke permasalahan. Sejak tinggal di kos pertengahan 2018, aku merasa kesantrianku mulai luntur. Hanya sesekali memakai rok, tidak lagi mendapat asupan rohani, terlebih belakangan seolah fokus pada duniawi saja. Karena itu, saat temanku mengajak untuk Diba’an rutin di kampungnya (kami menginap di rumahnya malam itu), aku seperti terlempar ke masa lalu. Saat setiap malam Jumat (dan malam-malam lainnya) melakukan hal-hal yang lebih berguna daripada hanya bermain medsos atau bengong. Bahkan kusadari bahwa aku masih mengingat beberapa bagian dari diba’ itu. Aku juga akhirnya menggunakan rok setelah sekian lama. Temanku menertawakanku, katanya aku terlihat kaku sekali. Hah.. memang.. bagaimanalah? Sudah lama sekali.
Kali ini, masuk ke pembahasan. Keesokan harinya, rencana besar kami: berkunjung ke sekolah. Aku benar-benar berubah wujud. Biasa menggunakan celana dan kemeja, berdandan stylish, kali ini harus menggunakan rok, tunik panjang. Imejnya jadi berbeda haha.. Bertemu guru-guru, teman seangkatan (tanpa sengaja), adik-adik kelas, kembali membuatku seperti terlempar. Setiap kalimat, setiap ucapan, seolah tidak pernah lupa menyebut-Nya. Memulai sesuatu, mendengar kabar kami, bahkan minta dukungan doa demi perkembangan sekolah (padahal siapalah kami ini?).
Saat kami kemudian mengelilingi pesantren, mengamati toko-toko yang masih sama, harga yang hanya naik sedikit (padahal inflasi tiga tahun terakhir cukup besar), adik-adik yang berkeliaran di sekitar kami, entah duduk mengobrol dengan temannya, atau berjalan pulang dari sekolah. Tampilan mereka begitu sederhana (meski mencoba se-update mungkin), wajah polos tanpa make-up (kuyakin belum semuanya mengenal deretan skincare). Ah, aku jadi teringat ajaran para guru padaku dulu: tawadhu’, tawakkal, meyakini segala sesuatu hadir dengan alasan tersendiri. Kalau dipikir-pikir, saat itu aku tidak berpikir terlalu jauh, mentok hanya 2 tahun ke depan. Berikutnya hanya impian kosong. Namun begitu yakin akan terwujud. Setiap memiliki keinginan besar, selalu berdoa lebih, membaca banyak sholawat, bahkan mengirim doa kepada setiap guru dan leluhurnya. Yakin sekali akan lebih mudah (dan berkah) jalannya nanti. Aku juga tidak menjadi gila dengan berbagai barang bermerek (kecuali iPhone saat itu, hingga saat ini). Ada barang bermerek idaman, namun hanya mendapat imitasinya. Tanpa tahu bahwa itu imitasi. Ah, kalau throwback begini, aku dan teman-teman polos sekali ya..
Sekembalinya ke Jogja, aku sempat berharap, agar aku bisa kembali mengaplikasikan segala ilmuku dulu. Aku berharap, meski aku “duniawi” sekali sekarang, ada setitik dalam diriku yang selalu mengingat-Nya. Dan kini aku mendapat jawaban atas pertanyaanku dulu: Jika memang dunia dan agama begitu mudah diintegrasikan, kenapa belum seterkenal itu? Karena memang sesulit itu. Banyak yang idealis, mencoba mengintegrasikannya, namun akhirnya banting setir, selain karena penelitian yang membutuhkan banyak waktu, juga karena memang hal semacam ini “kurang menarik” bagi mereka yang selalu mengedepankan logika. Seperti aku yang dulu berharap, biar sekolahku tetap kecil saja, asal anak didiknya benar-benar berkualitas dan para guru fokus, daripada sebaliknya. Pada akhirnya, seperti yang kuutarakan sebelumnya, aku berharap ada masanya aku “pulang”, merasa cukup dengan “percobaan”ku ini. Dan ketika saat itu tiba, semoga Dia masih berkenan menerimaku.