Langsung ke konten utama

Aku dan Buku Bacaan

Sejak kecil, aku diajarkan untuk menyukai buku. Saat teman seumuranku baru mengenal huruf, aku sudah mulai bisa membaca. Saat temanku masih membaca terbata-bata, aku sudah bisa menentukan intonasi untuk tanda baca koma dan titik. Bahkan saat teman sekelasku membutuhkan kelas tambahan untuk membaca dan menulis, aku ditolak untuk bergabung dalam kelas tersebut, karena aku dinilai sudah lancar melakukannya. Aku membaca beberapa jenis buku: dongeng bergambar untuk anak-anak, berlanjut ke komik Conan, serial Lima Sekawan (dan karya Enid Blyton lainnya), seri KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya), hingga serial Teenlit (dulu kesukaanku Luna Torashyngu, Esti Kinasih, Ken Terate). Beranjak SMA, aku mulai membaca buku yang lebih tebal: karya Tere Liye, Ilana Tan, dan beberapa novel Metropop.
Aku bisa menghabiskan beberapa buku dalam satu hari (saking penasarannya). Dan uang jajanku sering habis untuk membeli buku bacaan di masa itu. Sepanjang 2004-2016 (dimana aku masih asyik dengan buku), apakah aku bermain gawai? Tentu. Aku memilikinya sejak SD. Dengan pemakaian terbatas (sms-telepon saja). Untuk mengakses internet, aku harus ke warung internet (warnet). Tapi yah, harus main apa? Belum mengerti betul fungsi Facebook. Saat SMP (2010), saat aku pertama kali merantau, aku baru mengenal internet lebih dalam (tapi masih pemula). Karena tidak boleh membawa handphone, jadi komunikasiku dengan orang tua melalui obrolan Facebook (biaya telepon cukup mahal saat itu). Di waktu luang? Aku membaca buku, tentu saja. Sempat ada larangan untuk membawa bacaan fiksi di asrama. Apa yang kulakukan? Tetap membawanya diam-diam hehe. Setiap liburan, aku juga akan menambah koleksiku. Sekali beli buku, bisa ratusan ribu, dan bacaan itu akan tuntas. Kurang dari satu minggu.
Aku tidak banyak pilih-pilih genre bacaan. Selama itu menarik, ceritanya bagus (tentu ini menurutku), dan penulisnya cukup terkenal (aku lupa kenapa ini harus diperhitungkan), aku akan membacanya tidak peduli apapun. Dampak dari bacaan ini adalah, daya imajinasiku cukup luas. Aku cepat mengerti beberapa kata, dan kemampuan menulisku berkembang. Ini cukup membantu saat aku masuk anggota redaksi majalah saat SMA. Karena tidak memiliki handphone (selama di asrama), maka selain sekolah, kegiatan rutin, dan belajar, aku bisa membaca dan menulis lebih banyak. Entah mengembangkan imajinasiku (yang hingga detik ini belum ada satupun yang selesai) atau sesimpel menulis buku harian. Kadang menulis ulasan panjang tentang apa yang kualami dalam satu hari, kadang kalau malas bisa hanya selembar yang menuliskan apa saya yang kulakukan secara singkat. Hal ini cukup mengagumkan, kurasa. Karena selama 2010-2016, enam tahun di asrama, aku sudah menghasilkan beberapa jilid buku harian (sepuluh buku kurang lebih?).
Lalu apa yang terjadi?
Aku lulus SMA. Itu berarti, aku keluar dari asrama. Memasuki kehidupan perkuliahan, mengenal fungsi internet lebih jauh (dengan smartphone ala kadarnya hadiah dari ibu). Mengenal apa itu WhatsApp, Instagram, Line, dan beberapa aplikasi media sosial lain. Hal ini ditambah dengan aku masuk dalam Hallyu Wave: diawali dengan demam Descendants of the Sun, terjangkit Song Joong Ki’s syndrome, mengenal Korean Beauty yang cukup menguras kantong (saat itu kulitku sedang sangat bermasalah). Aku kembali merantau, lebih jauh. Biaya hidup jelas lebih mahal (karena harus membeli makan dan keperluan sendiri, berbeda dengan sebelumnya yang kadang dibelikan dan terdapat jatah makan), meski uang saku juga naik dua kali lipat. Aku juga harus beradaptasi dengan gaya hidup “anak kuliahan”, memilah kapan harus membeli buku-dan kapan tidak, serta dengan segala keperluan mahasiswa baru. Ah, jangan lupakan keperluan smartphone: pulsa dan paket internet. Hal ini membuatku kesulitan menyisihkan uang untuk membeli buku bacaan. Alhasil, aku jadi jarang membaca. “Dunia maya” yang ditawarkan smartphone-ku juga terlihat lebih menarik, karena aku tidak lagi harus ke warnet, maka aku bisa mengakses segala informasi secara real-time. Aku semakin terlena.
Saat aku akhirnya bisa mengendalikan keuanganku dan mulai bisa menyisihkan uang, aku sudah “tertinggal” cukup jauh dari tren bacaan terkini. Daya pikirku juga semakin berkembang, hingga merasa bacaan fiksi remaja terasa “menye-menye” dengan kisah romansa yang klasik. Sementara aku kurang tahu bacaan bagus yang s=cocok untuk usiaku. Belum lagi sedang marak penulis-influencer, istilahku untuk mereka yang memiliki pengaruh di media sosial, yang kemudian diajak editor untuk menulis buku, yang (setelah kuamati) isinya hampir sama: perjuangan mereka from zero to hero. Memang tidak ada yang salah. Namun setelah aku mencoba membeli tiga diantaranya, aku mulai jenuh. Atau jika mereka dari kalangan k-popers, maka isinya adalah from A to Z mengenai idola mereka. Kukira hal seperti ini kurang sesuai untukku (meski aku dulu mengagumi para influencer ini). Atau jenis baru lagi, karena kini marak “web-blog”, maka tidak sedikit cerita yang ramai (dan dibaca jutaan akun) untuk diangkat menjadi buku. Setidaknya, penerbit tahu pembaca cerita ini akan membeli buku tersebut.
Mungkin kalian sempat membaca dalam satu-dua artikel, bahwa mahasiswa seolah tidak gaul jika belum membaca sederet bacaan (yang menurutku) cukup berat. Aku lupa apa saja judulnya, dan aku juga tahu aku tidak harus mengikuti ini, untuk apa? Namun p[andangan ini terkadang cukup membuatku tertekan. Aku ingin kembali larut dalam bacaan (selain koleksi Tere Liye dan Ilana Tan), ingin “membuang” ketergantunganku terhadap smartphone, tapi setiap kali memasuki toko buku, aku kembali bingung: harga buku yang ternyata sudah naik (sehingga aku hanya bisa membeli satu buku setiap bulan), koleksi best seller yang sebagian diisi oleh orang terkenal (para influencer), serta ketidaktahuanku dalam memilih buku yang berujung memilih buku berdasar bagus-tidaknya sampul atau yang paling banyak diulas di internet. Kecepatan membaca bukuku juga jauh berkurang. Dari bisa fokus tiga jam sekali duduk tanpa distraksi, atau hitungan hari untuk satu buku, menjadi kurang dari satu jam untuk terganggu dengan smartphone, dan hitungan bulan untuk menyelesaikan hanya satu buku. Bahkan tidak jarang buku itu tidak selesai. Entah karena ceritanya kurang menarik (kalau buku terjemahan), pola pikir yang sulit kuterima (buku self-improvement), atau memang sengaja dibaca bertahap hingga lupa untuk melanjutkan (buku-buku non-fiksi). Setidaknya aku bersyukur kemampuan menulisku tidak terjun terlalu dalam, karena terbantu dengan tulisan-tulisan receh yang sering gatal kalau tidak ditulis ini.
Hingga saat ini, aku belum menemukan cara yang efektif untuk kembali meningkatkan minat bacaku. Aku hanya mencoba, setidaknya, membaca beberapa artikel atau tulisan menarik di media sosial. Dan sebisa mungkin segera menuangkan ide di kepalaku menjadi tulisan utuh sebelum mood-nya hilang. Sekian.