Setelah banyak menunda, akhirnya aku
bisa menonton film Kim JI Young, Born 1982. Tadinya aku ingin menonton karena
itu Gong Yoo dan Jung Yu Mi (aku jatuh hati dengannya setelah menonton Youn’s
Kitchen). Kemudian menonton trailer, jadi semakin ingin menonton, karena merasa
“tema yang menarik”. Sayang saat tayang di bioskop, aku tidak memiliki kesempatan
untuk menonton, jadilah menonton dari layar smartphone saja. Dalam masa tayang film
ini pula, sempat ramai postingan Affi Assegaf, Co-Founder Female Daily Network,
tentang hal yang mirip dengan tema film. Aku tidak akan menulis deskripsi lengkap
film, kalian bisa membacanya di sini. Ah, dan ini adalah tulisan spontan, jadi maaf kalau sedikit berantakan :)
Secara garis besar, Kim Ji Young,
Born 1982 menceritakan kisah Kim Ji Young, wanita berusia 30-an, sudah menikah
dan memiliki anak. Sebelumnya dia bekerja di agensi humas, namun berhenti karena
hamil. Kehidupannya benar-benar biasa: mengurus rumah, mengasuh anak, sesekali
berkunjung ke rumah mertua dan orang tua. Ji-Young adalah anak tengah, memiliki
kakak perempuan dan adik laki-laki. Orang tuanya menjalankan bisnis (rumah makan,
kukira). Suaminya bekerja di sebuah perusahaan, anak perempuannya juga cukup
menyenangkan (tidak digambarkan cacat atau memiliki penyakit serius; sehat). Lalu
apa istimewanya? Kenapa kisahnya menarik banyak perhatian? Karena perasaannya
cukup mewakili sebagian pihak, dengan lingkungan yang terus menyudutkan. Ah, sulit
sekali mengutarakannya. Biar kutunjukkan postingan dari Affi Assegaf agar lebih
mudah dipahami:
Apa yang ditulis Affi, tidak
sepenuhnya digambarkan dalam diri Ji-Young. Di keluarganya, Ji-Young tumbuh
menjadi wanita mandiri, bukan sibuk bekerja, tapi lebih pada meraih impian (?) Karena
dia toh tidak keberatan dengan pekerjaan rumah tangga, tapi dia ingin “lebih
berguna”, dihargai karena keterampilannya, bukan diremehkan hanya karena dia
menjadi ibu rumah tangga. Karena dia tahu, ibunya tidak bisa meraih impiannya
karena memiliki anak. Karenanya Ji-Young bersikeras ingin kembali bekerja setelah
anaknya cukup umur. Keluarga Ji-Young, meski ayahnya lebih perhatian pada
Ji-Sook (adik laki-lakinya), juga mendukung. Apapun, asal Ji-Young senang
menjalaninya. Namun hal ini berbanding terbalik dengan keluarga suaminya (ibu mertua),
yang justru menghinanya karena ingin kembali bekerja dan membiarkan Dae-Hyun (suaminya)
mengambil cuti untuk mengurus anak. Bahkan gaji JI-Young jika kembali bekerja
tidak cukup untuk membayar babysitter. Sebelumnya, Ji-Young sempat
mempertimbangkan untuk bekerja part-time di dekat day care Ah-Young (anaknya),
namun Dae-Hyun (dengan pertimbangan Ji-Young sedang lelah karena mengurus rumah),
melarangnya, khawatir Ji-Young semakin kelelahan -padahal kelelahan Ji-Young
bukan karena itu.
Selain konflik dalam keluarga,
penonton juga akan disuguhkan konflik dalam masyarakat mengenai perempuan di
usia 30-an. Ini ditunjukkan saat JI-Young sedang berjalan, lalu salah satu
pemilik toko dengan pembelinya membicarakan anak perempuan pemilik toko yang
akan berangkat bekerja. Pemilik toko menyiratkan, bahwa anaknya sudah cukup
umur (untuk menikah), namun dia justru belum memikirkannya, dan malah asyik
bekerja. Kim Timjang (bos Ji-Young di kantor sebelumnya) juga mendapat reaksi
yang sama dari kolega kantornya, seolah dirinya adalah ibu yang gagal, karena
lebih memilih berada di kantor daripada mendampingi anaknya (yang sedang masa
pubertas). Hal serupa juga dialami Eun-Young, kakak Ji-Young, yang belum juga
menikah. Bibi-bibinya terus mengganggunya dengan ungkapan yang sama seperti
yang biasa kalian dengar, “kapan menikah?”.
*Aku tidak akan membahas penyakit Ji-Young
di sini, karena itu tidak menjadi poin utamaku*
Apakah akhir film memiliki simpulan?
Kurasa sediki mengambang. Tidak dikatakan secara gamblang, dan lagi, akhir film
menggambarkan Ji-Young yang sembuh dari penyakitnya. Namun kukira, isu ini cukup
mengguncang pihak-pihak yang anti. Dan aku, yang tidak tahu berada di pihak pro
atau kontra, sempat berpikir, “hah, dunia ini sejak awal begitu kejam dengan
perempuan”. Katakanlah, peraturan mengenai perempuan sudah dibuat, dan itu tidak
memberatkan salah satu pihak, namun pikiran masyarakat tetap sama: kodrat
perempuan adalah di rumah, tidak bekerja -atau anakmu akan berantakan-. Kalaupun
bekerja, jangan mengejar karir. Perempuan yang sudah lulus kuliah (atau bahkan
tidak perlu kuliah, selepas SMA saja) harus menikah. Kalau sudah menikah, harus
segera punya anak. Kalau baru memiliki anak perempuan, maka harus memiliki anak
laki-laki -juga sebaliknya. Jika sudah memiliki keduanya, akan ditanya
bagaimana prestasi anaknya, akan jadi apa dia nanti, bagaimana perilakunya, dan
entah berapa ribu pertanyaan dan pernyataan yang, cukup mengganggu, kukira.
Kemudian aku teringat saat aku
berkunjung ke SMA-ku dulu. Seorang guru, bersikeras agar aku -dan
teman-temanku- segera menikah setelah lulus kuliah, pekerjaan dipikir nanti
saja. Sementara wali kelasku berkata sebaliknya, beliau mendukung penuh apapun
yang ingin kami lakukan, bekerja atau menikah, apa saja selama itu baik. Namun beliau
juga memberi batas, sampai usia 30 tahun, sekiranya. Dan terdapat satu guru
muda, perempuan 29 tahun, lulusan master, seorang dosen muda pula, memiliki
kendaraan pribadi dan sanggup kemanapun sendiri. Dari luar kulihat dia cukup
ceria, namun wali kelasku bilang, dia juga cukup stres dengan tekanan di
lingkungannya yang memintanya untuk segera menikah. Ah, jangan lupakan salah
seorang guru yang tetap melajang di usia 40-50an. Saat mendengar segala
informasi ini, kepalaku terasa ingin meledak, dan berteriak, “tidak bisakah
semuanya berhenti? Tidakkah mereka tahu, pernikahan bukan hal yang mudah untuk
sebagian orang? Dan lagi, apa salahnya tetap melajang jika memang dirinya
menghendaki seperti itu? Tolong berhentilah, sebelum kalimatmu melukai orang
lebih dalam lagi..” Aku juga bukan sepenuhnya baik. Dulu aku mendukung untuk menikah
muda, namun kemudian menyadari, bahwa menyatukan dua kehidupan tidak
sesederhana itu. Sebagaimana Ji-Young, sekalipun suaminya tidak keberatan,
keluarga besar tentu ada yang keberatan. Lalu apa simpulannya? Mendukung “feminisme”?
atau justru menolaknya?