Langsung ke konten utama

Hitam, Putih, dan Abu-Abu

Sebenarnya ini pemikiran lama, hanya saja sering kuabaikan. Namun membaca, menonton, menemukan informasi, kemudian mendiskusikannya membuatku ingin menulis mengenai hal ini. Ini hanya pemikiranku (hasil diskusi dan membaca banyak hal), tentu saja boleh berbeda dengan pemikiranmu. Dan aku tidak akan mendebatnya. Karena hanya menjadi debat kusir yang tidak memiliki ujung. Jadi, jangan diambil hati :)

Pernahkah kalian berpikir, dunia ini terasa tidak adil? Dalam pendidikan, misalnya, sekolah bagus yang banyak diisi manusia berbakat memiliki biaya yang sangat mahal, sehingga hanya orang berada yang mampu masuk di dalamnya. Sementara di sisi lain, ada yang harus berjuang sedemikian rupa hanya untuk berangkat sekolah, dengan gedung dan kondisi apa adanya, pengajar sukarela, dan "yang penting bisa baca-tulis-berhitung". Ada murid yang sudah mengerti hanya dengan mendengarkan sekilas, ;pun ada juga yang bebal, dijelaskan berkali-kali tetap tidak mengerti saat itu juga, baru paham sekian tahun kemudian. Dalam hal ekonomi, tentu kalian sering mendengar istilah "yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin". Kenapa bisa demikian? Bukankah ada si miskin yang kemudian menghasilkan puluhan juta dalam sebulan setelah bekerja sangat keras?Atau si kaya yang mengalami krisis hingga bangkrut dan tidak memiliki apapun lagi? Bagaimana standar menjadi kaya? Memiliki aset dimanapun? Bukankah banyak orang di desa yang juga memilikinya? Rumah dengan halaman luas, sawah sekian hektar, puluhan ternak? Ataukah yang memiliki koleksi barang bermerek, puluhan mobil mewah, "hobi mahal"? Ah, tapi ada juga yang begini namun memiliki banyak tunggakan di kartu kreditnya bukan? Atau dalam kehidupan sosial, kalian juga tentu pernah mengenal "privilage" bukan? Sebuah kata dalam bahasa Inggris yang memiliki arti hak istimewa. Umumnya mereka yang memiliki "kelebihan" yang sesuai dengan standar masyarakat yang mendapatkan hak istimewa ini: "cantik/tampan (rupawan)", "pintar", "kalangan berada" (anak 'sultan'). Mungkin ada lagi, entahlah. Yang rupawan yang seperti apa? Tinggi, putih, proporsional? Apakah yang pintar adalah yang selalu mendapat nilai A di kelas? Lalu bagaimana dengan yang tidak memiliki "kelebihan" ini? Dihina, dikucilkan, direndahkan. Ah, aku pernah berada di kedua posisi ini. Dan keduanya tidak sepenuhnya menyenangkan. Saat dipuja, banyak yang menyebarkan rumor negatif. Saat dihina, aku begitu rendah diri hingga kesulitan bergaul. Singkatnya, kalian akan dipuja, diagungkan ketika memiliki "nilai lebih" sesuai standar masyarakat. Sebaliknya, kalian bisa dihina, direndahkan, dibanding-bandingkan, jika tidak memiliki "nilai lebih" ini. 

Apakah ada kaum yang tidak menganut paham ini? Yang akan tetap menerima apa adanya, tanpa peduli "siapa" kita? Tentu ada. Seberapa banyak? Kukira tidak banyak. Kenapa tidak disebarluaskan saja? Karena mereka akan kalah dengan mayoritas, dan aku tidak mencoba untuk membantahnya. (kutekankan kembali, ini pendapatku, tentu kalian boleh berbeda, tapi aku tidak akan mendebatnya) Mungkin pernah terlintas dalam benak kalian, bahwa kalian ingin memberantas kejahatan, menggantinya dengan kedamaian di seluruh lapisan bumi. Atau kalian yang perfeksionis ingin agar seluruh orang rapi dan terorganisir sebagaimana kalian, sehingga tercipta kehidupan yang teratur, tanpa cela. Semua orang akan hidup dalam damai, berkecukupan, saling membantu, tanpa ada niat jahat setitikpun. Kemudian masa depan akan lebih mudah ditentukan. Tapi apakah kalian sudah mencobanya? Hidup tenang tanpa cela? Bertahan berapa lama? Tunggu, bukankah kalian yang sudah bekerja merasa bosan dengan "zona nyaman" itu? Ingin keluar dan mencoba hal baru? Kenapa demikian? Gaji lancar, pekerjaan nyaman, kalian tidak perlu bertaruh apapun. Bukankah hidup sudah damai? 

Temanku pernah menceritakan padaku betapa licik dan kejamnya sejumlah pebisnis di luar sana. melanggar hukum demi kelangsungan bisnis. Tapi tahukah kalian, jika dia tidak melakukan itu, bisa jadi bisnis yang dijalaninya tidak akan sampai pada kita hingga detik ini? Pernahkan kalian mengira-ngira, "hal buruk" yang selama ini terjadi, justru memberikan banyak pelajaran pada kita? Kita jadi semakin berhati-hati, mempelajari ilmu baru untuk mencegah mengatasi "hal buruk" serupa. Dalam serial Bumi karya Tere Liye, ada adegan menarik (yang terus kuingat hingga saat ini), dimana ada Pak Tua yang tahu akan ada hal buruk terjadi di depan, namun tetap membiarkan anak-anak berhati baik melewatinya. Dia lalu berkata, bahwa bisa jadi, cara terbaik untuk melawan hal buruk adalah dengan membiarkannya terjadi (tunggu, jangan dulu berpikir negatif). Dalam serial itu, terdapat dua jenis kaum: pemilik kekuatan dan rakyat biasa. Ada masa dimana pemilik kekuatan berkuasa, dan ingin menghancurkan rakyat biasa (yang bisa jadi tidak bersalah). Lalu ada pula masa dimana rakyat biasa berkuasa, kemudian menciptakan teknologi untuk menghancurkan para pemilik kekuatan (yang juga bisa jadi tidak bersalah). Menangkap sesuatu? Pada intinya, mereka hanya peduli kekuasaan. Tidak peduli siapa yang benar dan salah, mereka hanya ingin menghilangkan siapapun yang berbeda dengan mereka. 

Aku juga menonton beberapa drama Korea. Tidak sedikit yang membicarakan profesi-profesi sensitif di sana: hukum, medis, politik. praktisi hukum yang ingin menegakkan keadilan, praktisi medis yang berdedikasi kepada rakyat biasa. Dengan pengembangan cerita yang berbeda, inti karakternya tetap sama: mereka yang berdedikasi untuk kaum lemah, dan mereka yang hanya haus kekuasaan. Tentu saja banyak yang akhirnya menggambarkan kaum lemah yang menang. Tapi apakah ini sering terjadi di kehidupan nyata? Kukira tidak. Kedua karakter utama digambarkan saling membenci, tanpa mencoba memahami satu sama lain, mencoba melihat dari sisi yang berbeda. Kaum tengah, yang seringkali terombang-ambing akibat pengaruh kedua tokoh utama, akan menjadi "korban". Dimanfaatkan di segala sisi. Salah satu karakter dalam drama Romantic Doctor, Teacher Kim 2, mengungkapkan hal yang menarik. dia, sebut saja A, adalah dokter yang melakukan suap dan penyalahgunaan tindakan. Perbuatannya ini dilaporkan oleh dokter B. Tentu saja dokter A kemudian dicabut gelarnya. Apakah dokter B kemudian berjaya karena "berbuat baik"? Tidak. Dia dikucilkan, sulit diterima bekerja, karena dicap 'pengadu'. Rumah sakit takut segala hal buruknya dibocorkan oleh dokter B. Kedua dokter ini bersahabat. Dokter A terus bertanya, kenapa B tega melaporkannya, padahal uang suap itu untuk melunasi hutang. "..bukankah kau bilang kita harus menghasilkan uang untuk bisa menguasai dunia? Tidak peduli jika dengan itu harus melanggar hukum. (di luar sana) Banyak yang melanggar hukum, tapi tetap menguasai dunia.." 

Kalian yang terus menyemangati diri, berkata bahwa setiap orang memiliki jalan masing-masing, tidakkah kalian berpikir hal itu juga berlaku dalam hal ini? 'Orang jahat', 'orang baik', 'orang yang netral', bukankah masing-masing memiliki fungsi dalam dunia ini? Seperti konsep yin dan yang dalam filosofi Tionghoa. Hitam putih bersisian, hitam dalam putih, putih dalam hitam. Bukankah konsep ini penggambaran "baik" dan "buruk"? Hal yang berlawanan? Tapi bukankan dikatakan juga bahwa mereka membangun satu sama lain? Saling melengkapi?  Orang baik tidak akan dikatakan baik sampai dia melawan orang jahat. Pun juga sebaliknya. Karena itu aku berpikiran, segala "hal buruk" (jika kita menganggapnya demikian) yang terjadi di dunia ini, boleh jadi memang harus demikian adanya. Perlu juga diingat kalimat umum ini, tidak ada orang jahat yang betulan jahat, selalu ada sifat baik dalam hatinya. Pun juga tidak ada orang baik yang betulan baik, dia tetap tidak lepas dari niat jahat atau kesalahan bukan? 

Sekali lagi, ini hanya pendapatku, tidak masalah jika kalian memiliki pendapat yang berbeda. Setiap orang berbeda, latar belakang, pengalaman, dan pemikirannya tidak ada yang sama persis. Akupun tidak sebaik dan sesempurna itu. Masih banyak salah, terkadang kejam. Tapi tidak mengapa. Pemikiran ini juga bisa jadi berubah suatu hari nanti. Tidak ada yang tahu. Ketika aku melihat kehidupan teman-teman(seumuran)ku, aku melihat banyak hal baru. Rasa rendah diri, tekad berjuang, bagaimana mereka menyikapi apa yang terjadi, hingga prinsip yang mereka anut. Suatu waktu, mereka akan berpikiran A. Namun lama berselang, tanpa kabar, tanpa tahu apa yang tengah terjadi pada diri masing-masing, saat berjumpa kembali, pemikirannya sudah berubah menjadi B, yang mungkin bertentangan. Lalu aku -dan mungkin teman-teman lain- akan mengira dia ini labil. Padahal, hei, kami lama tidak bersua, tidak tahu apa yang terjadi padanya, bagaimana mungkin kami menghakiminya secara sepihak seperti itu? People changes. Pemikiran seseorang bisa berubah, kapan saja, entah bagaimana caranya. Bukankah karena itu sampai ada doa, "Wahai Tuhan Yang Maha Membolak-balikkan Hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu"? Karena memang semudah itu pemikiran (dan hati) kita berubah. Bukankah kalian juga pernah mengalaminya sendiri? Saat kalian sudah setia menggunakan suatu produk, lalu muncul rumor bahwa produk itu bermasalah, maka kalian akan berbalik dan berhenti menggunakan produk itu? Meski di kemudian hari ternyata tidak ditemukan masalah, bukankah kalian sedikit ragu untuk bisa kembali? Tapi tidak menutup kemungkinan kalian akan kembali menggunakan produk itu. Tidak ada yang pasti di dunia ini. Sebagaimana tidak ada yang tahu masa depan. Segala yang dipublikasi hanya sebatas prediksi, perkiraan, berdasarkan hitungan tertentu. Bisa jadi benar, bisa jadi salah.