Perayaan tahun 2020 belum lama terlewat.
Manusia di sleuruh dunia berharap agar tahun ini dapat menjadi lebih baik,
menutup lembaran hitam, luka, dan kecewa di tahun 2019. Namun apa yang terjadi?
Usai perayaan pergantian tahun, Indonesia diserang banjir hingga berhari-hari.
Belum lama surut, sudah banjir lagi. Di sisi bumi lain, kebakaran terjadi di
Australia yang memusnahkan habitat hewan sejumlah hewan. Belum lagi isu
#WorldWarIII yang ramai
di
media sosial. Seakan
belum cukup, sekarang merebak pandemi COVID-19 di hampir seluruh dunia. Sebelumnya,
maafkan aku karena terlambat mengunggah tulisan ini, juga karena tulisan ini
akan sangat panjang.
COVID-19sudah
ramai diberitakan sejak paruh kedua Januari 2020 merebak di Wuhan, Cina. Kemudian
menyebar ke berbagai negara melalui orang-orang yang baru saja pulang dari Wuhan
atau berinteraksi dengan orang tersebut. Tadinya, Indonesia sempat tidak
diberitakan ada yang positif. Yang mengakibatkan kita menjadi “angkuh”. Merasa sakti
telah menang dari virus. Tapi toh kita ambruk juga. Awal Maret 2020, dua WNI positif
terkena COVID-19. Menyusul angka-angka lainnya. Per 21 Maret 2020, terdapat 450
kasus positif COVID-19, dengan 392 orang menjalani perawatan, 20 orang sembuh,
dan 38 orang meninggal. Apakah mungkin untuk bertambah? Sangat mungkin. Sebagaimana
kalian tahu, itu hasil pemeriksaan bagi mereka yang diawasi. Bagaimana dengan
yang tidak? Bukan tidak mungkin mereka membawa virus itu dalam dirinya, meski
tidak tampak gejala, sebagaimana yang dipaparkan Edward Suhadi dalam tweet-nya.
Untuk
meredam penyebaran virus ini, pemerintah Indonesia mulai menerapkan Social
Distancing, pembatasan jarak, dan melarang masyarakat untuk keluar rumah jika
tidak ada hal yang mendesak (belanja kebutuhan pokok, bekerja). Demi mendukung
kebijakan ini, beberapa perusahaan (yang memungkinkan) menerapkan kebijakan
Work From Home (bekerja dari rumah). Beberapa sekolah dan fasilitas umum juga
ditutup. Pembelajaran pelajar dan mahasiswa dialihkan ke media lain (bukan
tatap muka). Ada yang hingga akhir Maret, ada juga yang hingga akhir April. Di Yogyakarta
(DIY), Sultan mengeluarkan edaran bahwa DIY sedang dalam situasi tanggap darurat
COVID-19 hingga 29 Mei 2020. Apakah kebijakannya akan diperpanjang atau tidak, akan dilihat situasinya
nanti. Apakah dapat meredam dan pasien dapat ditangani, atau semakin memburuk
hingga perlu dilakukan lockdown sebagaimana terjadi di Italia.
Aktivitas
warga terbatas, lalu bagaimana dampaknya? Buruk. Ini baru social distancing,
tapi sudah terlihat dampaknya dari sisi ekonomi. Indeks saham jatuh, nilai
tukar USD melemah, harga emas naik drastis. Pada Januari 2020, indeks terlihat baik,
sempat menyentuh angka 6300. Membuat investor optimis bahwa indeks akan terus naik
hingga 6500 atau lebih. Hal yang sama juga terjadi pada nilai tukar USD. Sempat
menyentuh angka 13600, bukan? Namun apalah, pandemi virus ini membuat indeks dan
nilai USD terus jatuh. Per 20 Maret 2020, IHSG menyentuh 4194, nilai tukar USD sebesar
15779 (sebelumnya sempat di atas 16000), dan harga emas per 21 Maret 2020
mencapat 821000/gram (dalam 100 gram). Ini tentu kabar buruk bagi pihak yang
bersinggungan.
Mari
kita berganti topik. Sebelum segala pandemi ini menyerang, kita, manusia, sudah
menghadapi fakta bahwa sampah kita telah menumpuk dan mulai tidak terkendali, hingga
memunculkan berbagai kampanye, seperti #LessWaste, #ZeroWaste, hingga #NoSingleUsePlastic.
Edukasi ini belum selesai, masih terus berjalan, bukan tidak mungkin
membutuhkan waktu lama, namun bencana lain sudah datang.
Namun,
apakah dampak pandemi ini begitu buruk? Aku tidak tahu. Itu bergantung pada
bagaimana kita melihatnya. Sebuah unggahan oleh Semesta Sains di Twitter sedikit
banyak mengusikku (yang tadinya tidak banyak perduli mengenai pandemi ini).
Kalian
melihatnya? Maafkan aku yang tidak bisa mengonfirmasi langsung (dengan memastikan
pada sumber lain). Dua bulan sejak pandemi ini merebak ke seluruh dunia, menyebabkan
kebijakan social distancing dan lockdown di beberapa negara. Dan ini
dampak lain yang didapat (selain ekonomi melemah).
Aku
jadi teringat salah satu bacaanku beberapa waktu lalu, Hujan dari Tere Liye,
kalau kalian tahu. Ini fiksi, namun kukira sedikit relevan dengan apa yang
sedang terjadi saat ini. Jika saat ini sedang merebak pandemi COVID-19, maka
dalam buku itu terjadi bencana alam mematikan: meletusnya gunung api purba (yang
hanya ribuan-belasan-puluhan ribu tahun sekali) dengan skala 8 VEI, diiringi gempa
bumi dan tsunami besar (izinkan aku menceritakannya, maaf jika jatuhnya
memberikan spoiler). Akibat dari bencana tersebut, tidak banyak manusia
yang selamat. Seakan belum cukup, dampak lain timbul: abu gunung menutup
lapisan stratosfer (?), menghalangi sinar matahari, menyebabkan musim dingin
berkepanjangan. Diceritakan, pada masa itu teknologi sudah maju sekali. Beberapa
wilayah yang tidak terkena dampak buruk bisa pulih dalam waktu cepat. Wilayah lain
yang terkena dampak buruk terus melemah. Populasi manusia terus mengecil. Dengan
teknologi yang begitu maju, mereka menciptakan solusi: intervensi lapisan
stratosfer, menghilangkan abu yang menghalangi sinar matahari. Keputusan ini
sempat menimbulkan pro-kontra. Namun karena keegoisan manusia, intervensi ini
terus berjalan hingga seluruh wilayah tidak lagi mengalami musim dingin. Apakah
ini berhasil? Secara kasat mata, ya. Mereka tidak lagi kesulitan dengan musim
dingin, matahari bersinar cerah. Namun bencana baru kembali datang: awan menghilang
dari langit. Apa dampaknya? Tidak akan ada lagi hujan. Maka kemudian siklus air
menjadi rusak. Suhu juga akan terus meningkat, menyebabkan kekeringan dan Bumi ‘terbakar’
dalam jangka panjang.
*aku
tidak tahu bagaimana Tere Liye mendapat gambaran gunung purba meletus dan
dampaknya di seluruh dunia dalam buku ini, namun dari beberapa artikel yang
kubaca, bencana ini sedikit mirip dengan Letusan Tambora 1815
Apakah
kalian melihat sedikit hal yang relevan? Kita sama-sama dilanda ‘musibah’, namun
aku melihat, ‘kita’ juga sama egoisnya. Aku mungkin tidak tahu banyak mengenai
apa yang tengah terjadi di luar, apa yang kukatakan hanya berasal dari berita
dan media sosial yang entah benar-entah kurang tepat. Sejak berita WNI dinyatakan
positif COVID-19, permintaan alat pelindung diri (sanitizer, disinfektan,
masker, swab, jubah medis, hingga sarung tangan bedah) sedang meningkat. Kukira
pabrik sedang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan ini, maka untuk menunggu
hasil produksi, kita bergantung pada stok yang ada di pasaran. Tapi apa yang
terjadi? Banyak penjual yang menimbun stok. Bagaimana mungkin harga jualnya kemudian
setinggi itu? berkali lipat dari harga pabrik. Belum lagi fenomena panic
buying yang tampak di beberapa supermarket. Kita kemudian tahu bahwa
penguat imun seolah menjadi wajib saat ini, maka berbagai vitamin dan ramuan
tradisional habis diburu, membuat produsen kewalahan dan menerapkan pembatasan
pembelian. Sebenarnya, apakah kita seperlu itu? katakanlah kita memang
memerlukannya (alat pelindung diri, berbagai stok makanan dalam jumlah kurang
wajar, dan imun booster), apakah kita tidak bisa menggantinya dengan hal
lain? Dan memberikan stok yang ada kepada mereka yang benar-benar
membutuhkannya? Miliki secukupnya saja. Toh saat ini banyak ruang publik yang
turut berpartisipasi menjaga kebersihan dengan memberikan free sanitizer
dan area mencuci tangan, bukan?
Tadinya
pembahasannya akan melebar, tapi kukira cukup segini saja. Pembahasan selanjutnya
akan kuunggah minggu depan (semoga aku sempat menulisnya). Baiklah, mengikuti
anjuran WHO, mari kita jaga diri baik-baik. Jika memungkinkan, ada baiknya
tidak keluar rumah jika tidak ada hal mendesak (atau kewajiban). Mari menjaga
asupan makan, banyak minum air putih, menjaga kebersihan diri dan lingkungan,
serta rajin mencuci tangan (setidaknya setelah kembali ke rumah,
sebelum-sesudah makan, dan sesudah buang air). Mari menjaga pikiran juga agar
kita selalu tenang, tidak mudah panik, yang dapat menyebabkan tubuh ikut ‘sakit’.